Sumarja, FX (2019) BEBERAPA ASPEK HUKUM JUAL BELI TANAH BERITIKAD BAIK. [Teaching Resource] (Unpublished)

[img]
Preview
Text
Pembeli etikat baik.pdf

Download (102kB) | Preview
Official URL: http://repository.lppm.unila.ac.id

Abstract

Secara teoretis, sengketa jual beli tanah antara pemilik asal melawan pembeli beritikad baik, dapat diasumsikan sebagai perselisihan antara dua doktrin. Yaitu: 1) Doktrin ‘nemo plus iuris transferre (ad alium) potest quam ipse habet’ (seseorang tak dapat mengalihkan sesuatu melebihi dari apa yang dimilikinya) yang membela gugatan pemilik asal, dan 2) Doktrin/asas ‘bona fides’ (itikad baik) yang melindungi pembeli beritikad baik. Posisi hukumnya memang dilematis, karena menempatkan dua belah pihak yang pada dasarnya tidak bersalah untuk saling berhadapan di pengadilan dan meminta untuk dimenangkan, akibat ulah pihak lain (penjual) yang mungkin beritikad buruk. Jika dalil pembeli dikabulkan, maka dia akan dianggap sebagai pemilik (baru), meskipun penjualan dilakukan oleh pihak yang (semestinya) tidak berwenang. Sementara jika dalil tersebut tidak dapat dibenarkan, maka peralihan hak akan dianggap tidak sah dan pemilik asal akan tetap menjadi pemilik sahnya. Mahkamah Agung telah mencoba untuk menyatukan pandangan-pandangan tersebut, melalui kesepakatan Rapat Pleno Kamar Perdata yang tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 7/2012. Di dalam butir ke-IX dirumuskan bahwa: 1. Perlindungan harus diberikan kepada pembeli yang itikad baik sekalipun kemudian diketahui bahwa penjual adalah orang yang tidak berhak (obyek jual beli tanah). 2. Pemilik asal hanya dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada Penjual yang tidak berhak. Sebuah penelitian dari putusan-putusan pengadilan terkait peralihan tanah, ditemukan 49 putusan yang memenangkan pembeli yang mendalilkan telah beritikad baik. Alasan yang paling banyak digunakan hakim adalah telah dilakukannya jual beli melalui notaris/PPAT atau melalui pelelangan umum. Sementara itu, terdapat 20 putusan lainnya, dalil tersebut ditolak. Alasannya, pembeli dianggap kurang cermat memeriksa status tanah obyek jual beli, atau tanah obyek jual beli masih dalam sengketa. Pembeli yang melakukan jual beli di hadapan PPAT atau melalui pelelangan umum, ternyata juga tidak selamanya dianggap sebagai pembeli beritikad baik. Hal ini terjadi, apabila terdapat pemalsuan data dalam pembelian, atau jika Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah memperingatkan status tanah yang semestinya tak dapat diperjualbelikan. Kemudian sehubungan dengan tanah lelang, pembeli dianggap tidak beritikad baik, jika membeli sendiri tanah yang diagunkan kepadanya dengan nilai yang tidak wajar, atau jika hak atas tanah yang sebenarnya telah dihapuskan. Data tersebut menunjukkan bahwa pengadilan memberikan perlindungan yang relatif kuat kepada pembeli beritikad baik. Namun, pertimbangan yang diberikan sangat sumir. Ini menjadi masalah, karena tidak ada definisi dan kriteria pembeli beritikad baik di dalam peraturan perundang-undangan, sehingga penilaiannya ditentukan oleh pandangan hakim masing-masing. Bedasarkan penelusuran literatur, ditemukan bahwa pengertian ‘itikad baik’ dalam hal ini berarti ketidaktahuan pembeli atas cacat cela peralihan hak atas tanah yang diperolehnya dan ketidaktahuan ini bukan merupakan kesalahan atau ketidakcermatan pembeli itu.

Item Type: Teaching Resource
Subjects: K Law > K Law (General)
Divisions: Fakultas Hukum (FH) > Prodi Magister Hukum
Depositing User: Sumarja FX sumarja
Date Deposited: 04 Nov 2019 03:09
Last Modified: 04 Nov 2019 03:09
URI: http://repository.lppm.unila.ac.id/id/eprint/14738

Actions (login required)

View Item View Item