PROVINSI Lampung dan dua kabupaten serentak menggelar pemungutan suara pada 27 Juni 2018 esok. Pilkada tahun ini cukup besar jumlah daerah dan pemilih yang mengikutinya daripada tahun-tahun sebelumnya. Semakin banyak jumlah daerah dan pemilih yang mengikuti pilkada, semakin tinggi pula potensi pelanggaran yang terjadi.
Tindak pidana pilkada adalah tindak pidana baru dalam peraturan perundang-undangan pidana di Indonesia. Dalam doktrin hukum pidana terdapat ajaran tentang ”sifat melawan hukum (SMH)”. Terdiri dari SMH formil dan SMH materil.
SMH formil, hukum adalah hukum tertulis yaitu peraturan perundang-undangan (
wet). Terpenuhinya sifat melawan hukum apabila pelaku melanggar atu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (
onwetmatigedaad).
SMH materil, hukum tidak hanya hukum tertulis tetapi juga hukum yang tidak tertulis (
unwritten law) hukum adalah
recht. Terpenuhinya sifat melawan hukum apabila pelaku melanggar atau bertentangan dengan hukum (
onrechtmatigedaad).
Tindak pidana pilkada termasuk dalam
onwetmatigedaad. Berbeda dengan tindak-tindak pidana pada umumnya seperti pembunuhan dan pencurian yang termasuk dalam
onrechtmatigedaad. Dalam pengajaran hukum pidana dikenal dengan istilah tindak pidana administrasi.
Menurut Pasal 73 ayat (2) UU 15/2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu, lembaga yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Meski demikian sebagai upaya menjaga kualitas pilkada, masyarakat selaku pemegang hak pilih juga perlu turut menjadi pengawas dalam pelaksanaan pilkada. Karena dalam prosedur penanganan pelanggaran pemilihan, baik Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, Pengawas Pemilihan Lapangan (PPL), maupun Pengawas TPS bertugas menerima laporan pelanggaran dari pemilih, pemantau pemilihan, dan peserta pemilihan (pasangan calon).
Jenis pelanggaran yang dapat dilaporkan sebagaimana Pasal 135 ayat (1) UU 1/2015 jo. UU 8/2015 jo. UU 10/2016 tentang Pilkada meliputi pelanggaran kode etik penyelenggara pemilihan, pelanggaran administrasi pemilihan, sengketa pemilihan, dan tindak pidana pemilihan. Masing-masing jenis pelanggaran tersebut memiliki substansi dan prosedur penanganan yang berbeda.
Pertama, pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, merupakan pelanggaran terhadap etika penyelenggara pemilihan yang berpedoman pada sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilihan. Subyek pelanggarnya adalah para penyelenggara pemilu/pilkada baik di tingkat pusat hingga tingkat tempat pemungutan suara (TPS).
Dua poin penting yang harus menjadi perhatian penyelenggaraan pemilu adalah memfasilitasi pemilih dalam menggunakan haknya dan memfasilitasi peserta pemilu dengan adil.
Bentuk pelanggaran kode etik ini misalnya, penyelenggara pemilu menerima gratifikasi dari oknum pasangan calon (paslon), penyelenggara pemilu menjadi tim sukses paslon, meniadakan penyelenggaran pemilihan, tidak menyediakan logistik atau fasilitas/ sarana pemilihan.
Jika dalam pelaksanaan pilkada esok masyarakat menemukan bentuk pelanggaran tersebut atau sejenisnya dapat melaporkan/ mengadukan kepada panwas. Panwas akan menindaklanjuti kepada Bawaslu dan akan diteruskan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk diselesaikan.
Kedua, pelanggaran administrasi pemilihan, yaitu pelanggaran yang meliputi tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilihan di luar tindak pidana pemilihan dan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilihan.
Bentuk pelanggaran administrasi misalnya, tidak menyebarkan undangan pemilihan C6 untuk pemilih, data pemilih ganda, ketidaksesuaian jumlah DPT kecamatan dengan rekap kabupaten, kesalahan penulisan nama calon/gelar, kesalahan prosedur penghitungan suara.
Ketiga, sengketa pemilihan, yaitu sengketa yang terjadi antarpeserta pemilihan dan/ atau antara peserta pemilihan dengan penyelenggara pemilihan sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota.
Mengenai sengketa pemilihan ini yang berwenang untuk menyelesaikan adalah Bawaslu. Bawaslu menerima dan mengkaji laporan atau temuan, kemudian mempertemukan pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan melalui musyawarah dan mufakat.
Keempat, tindak pidana pemilihan, merupakan pelanggaran atau kejahatan terhadap ketentuan pemilihan sebagaimana diatur dalam UU Pilkada. Bentuk tindak pidana pemilihan misalnya, memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih, melakukan kampanye diluar jadwal yang telah ditetapkan, melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap para pemilih, menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih.
Sebagai tindak pidana administrasi dalam UU Pilkada terdapat adanya sanksi administrasi selain sanksi pidana penjara dan denda. Penegakan hukumnya juga diatur secara khusus dengan kelembagaan sentra gakkumdu yang tidak dikenal dalam KUHAP. Jangka waktu penegakan hukumnya jauh lebih singkat daripada ketentuan yang terdapat dalam KUHAP. Sentra gakkumdu dan masalah jangka waktu ini membuat penegakan hukum tindak pidana pilkada tidak sesuai dengan keadilan dan kebenaran materil (
substantial truth).
Salah satu contoh adalah perkara ”
black campaign” di Lampung Timur, tiga orang pelaku ditetapkan sebagai tersangka dan diajukan ke persidangan. Dalam persidangan terdapat saksi yang mengakui memberi uang sebesar Rp6 juta kepada salah satu tersangka untuk biaya operasional ”
black campaign”, dalam hal mana saksi tersebut telah memenuhi unsur Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagai orang yang menyuruhlakukan (
uitlokker) yang seharusnya juga menjadi tersangka. Tetapi karena menurut Bawaslu jangka waktu penyidikan sudah habis, penyidik tidak dapat membuat Sprindik dan SPDP baru sebagaimana ketentuan KUHAP. (*)
Editor:gueade