SAYA sepakat dengan pandangan bahwa Indonesia patut mengingat pengalaman kurang mengesankan selama Orde Baru berkuasa. Yakni, betapa kuatnya peran Pemerintah Pusat mengelola pemerintahan serta upaya militerisasi (kepemimpinan) di hampir seluruh provinsi dan kabupaten.
Selain itu, juga benar bahwa nilai-nilai demokratis yang kini tengah mekar di Tanah Air mesti dijaga agar tetap luhur dan terhindar dari budaya militeristik. Harus diakui, ada perbedaan mendasar soal nilai, ciri/karakter, dan fungsi/peran antara militer dan sipil. Dibekali pengetahuan dan kemudian dilatih untuk berperang, militer mengelola force (daya paksa, kekuatan) untuk kepentingan nasional/negara, utamanya dari ancaman eksternal.
Namun, di masa kini, barangkali ada sejumlah kecil rasionalitas dalam pendidikan dan kultur militer. Dalam kadar yang pas kultur tersebut patut ditransformasikan menjadi nilai-nilai konstruktif bagi kepemimpinan sipil yang selama ini masih relatif lemah, terlebih pasca-Reformasi 1998.
Hal itu didasarkan pada kenyataan, sejak Orde Baru tamat, Indonesia perlahan menuju sistem demokrasi. Militer harus kembali ke peran dasarnya menjadi profesional, yaitu untuk pertahanan negara (menangkal ancaman eksternal) serta tidak terlibat dalam politik praktis dan bisnis. Alhasil, pelbagai posisi/jabatan yang menjadi domain sipil di beragam tingkatan, mesti dipercayakan kepada kalangan sipil yang cakap.
Sebagian posisi/jabatan sipil yang penting dan sentral, mulai dari gubernur, bupati, wali kota, camat, lurah, hingga kepala desa, atau di tingkat pusat ada menteri, direktur jenderal, sekretaris jenderal, serta inspektur jenderal, yang selama tiga dekade diisi militer, kini harus ditempati sipil yang berkompeten.

Perkuat Kompetensi Sipil

Salah satu dimensi penting dari profesi/organisasi militer dan kemudian layak diterjemahkan ke dalam makna yang tepat oleh kepemimpinan dan organisasi sipil ialah kedisiplinan. Oleh sebab itu, memperkuat kompetensi kepemimpinan sipil (civilian leadership competency) secara perlahan di semua level pemerintahan tidak bisa dielakkan. Sebab, ia merupakan tumpuan untuk mewujudkan pengelolaan pemerintahan yang baik dan bersih secara menyeluruh. Makin demokratis Indonesia, tuntutan itu tentu kian meningkat.
Pertanyaannya, sipil mana yang harus memiliki kompetensi? Lantas, kompetensi kepemimpinan seperti apa yang mampu menopang pemerintahan sipil yang demokratis?
Kelompok pemimpin sipil di sini ialah mereka yang terpilih untuk ranah eksekutif di tingkat nasional, provinsial, dan lokal melalui pemilihan yang demokratis sekali lima tahun. Kemudian mereka yang merupakan bagian dari pemimpin puncak aparatus birokrasi yang berperan sebagai mesin penggerak pemerintahan.
Tidak ada kata sepakat terkait cakupan kompetensi tersebut. Namun, kata kunci yang dapat dikemukakan ialah mengacu pada dasar manajemen, yakni mengasah dan menerapkan secara konsisten kemampuan planning, organizing, commanding, coordinating, dan controlling.
Harvard Business Review (November 2010) pernah menanyai 195 global leaders di 15 negara dan 30 organisasi global soal leadership competencies yang harus dimiliki para pemimpin. Hasilnya, aspek standar etika dan moral yang tinggi serta tujuan yang jelas berada di urutan teratas.



Kecil Kemungkinan

Secara teoritis, dalam konteks pola kontrol sipil atas militer pasca-Perang Dingin, menurut Desch (1999), militer lebih mudah dikontrol apabila yang dihadapi adalah ancaman eksternal (internasional). Sebaliknya, militer akan sulit dikendalikan ketika menghadapi ancaman internal/domestik.
Di Indonesia, dalam jangka-panjang, kecil kemungkinan militer (aktif) mengintervensi terlalu jauh ranah politik/pemerintahan. Setidaknya kita dapat berefleksi pada kejadian 1998. Kala itu, militer mengawal jalannya transisi pemerintahan ke arah demokratis dengan relatif baik.
Namun, fakta tampilnya figur purnawirawan militer atau bahkan yang masih aktif (lalu mengundurkan diri dari kedinasan) dan terjun ke politik praktis, tampaknya tidak bisa dibantah. Di masa depan, kecenderungan ini barangkali akan tetap ada kendati jumlahnya tidak begitu signifikan.

Dua Simpul Kritikal

Ironi dari demokrasi politik yang kita nikmati sejak Reformasi 1998 ialah terbukanya ruang yang sangat luas bagi siapa saja yang hendak memimpin di semua level pemerintahan; mulai dari nasional hingga daerah. Mereka yang tidak memiliki kemampuan pun bisa maju dan terpilih.
Sipil yang terpilih secara demokratis di pelbagai daerah kerap terjebak dalam dua simpul kritikal: hukum besi oligarki (pemerintahan yang dikelola segelintir elite) dan kleptokrasi (kerja sama saling menguntungkan birokrat—korporat). Terlebih, sebagian besar partai politik gagal menjalankan fungsi rekrutmen serta konsolidasi internal.
Pada akhirnya, penegakan hukum yang konsisten harus dikawal untuk memperkuat kompetensi kepemimpinan sipil. Khususnya dalam merespons beragam persoalan nasional dan daerah seiring melonggarnya kedua simpul itu.
Indonesia kini membutuhkan sekitar 34 gubernur, 416 bupati, dan 98 wali kota. Kemudian 7.094 camat, 8.412 lurah, serta 74.093 kepala desa, termasuk para aparatur sipil lainnya. Mereka harus makin sadar untuk mempertajam kompetensi kepemimpinan guna melayani 250 juta penduduk. Disiplin sosial dan pemenuhan beragam kebutuhan pokok adalah kunci stabilitas.
Generasi muda (sipil) Indonesia, terlebih mereka yang lahir di era 1970-an dan 1980-an, harus mengasah kemampuan memimpin sejak dini agar di masa depan memiliki kompetensi mengisi beragam posisi di pelbagai tingkat pemerintahan.
Mereka harus memiliki cukup pengetahuan dan menyerap derasnya informasi regional dan global. Juga, menguasai keterampilan adaptif terhadap lingkungan yang dinamis. Berani dan cermat mengambil risiko, responsif terhadap keluhan masyarakat, tidak defisit gagasan, serta memiliki inspirasi dan inovasi. Secara individual, mereka harus cakap menatap masa depan dengan disiplin dan penuh percaya diri, tetapi tetap rendah hati. ***

EDITOR

Isnovan Djamaludin

TAGS


KOMENTAR