Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari pener Selvi Diana Meilinda, S.AN., MPA. Dr. Azima Dimyati, M.M. KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga buku ini telah dapat diselesaikan. Buku ini adalah suatu output penelitian yang telah dilakukan tim penulis mulai tahun 2016 2018. Kami sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu, informan, teman sejawat dan pimpinan Fakultas ISIP dan Universitas Bandar Lampung atas kesempatan yang diberikan kepada tim peneliti untuk ikut serta dalam Penelitian Kerjasama Perguruan Tinggi tahun pendanaan 2016-2018. Kami menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam buku ini untuk itu kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan buku ini sangat diharapkan. Dan semoga buku ini dapat memberikan maanfaat bagi semua pihak dari segala lapisan yang membutuhkan. Bandar Lampung, Oktober 2020 Tim Penulis DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI.............................................................................................................................. i BAB I. Kebijakan Publik............................................................................................................................................ 2 BAB II. Definisi Implementasi Kebijakan Publik ......................................................................................6 BAB III. Model Implementasi Kebijakan Publik ..................................................................................... 7 BAB IV. Penerapan Implementasi Program.................................................................................... 15 BAB V. Pendekatan Budaya Lampung...................................................................................................16 BAB VI. Pentingnya Pendekatan Budaya Dalam Implementasi Program Gsmk .......................... 18 DAFTAR PUSTAKA KEBIJAKAN PUBLIK Kebijakan publik adalah tindakan kolektif yang diwujudkan melalui kewenangan pemerintah yang legitimate untuk mendorong, menghambat, melarang atau mengatur tindakan private (individu atau lembaga swasta). Kebijakan publik memiliki dua ciri pokok.Pertama, dibuat atau diproses oleh lembaga pemerintahan atau berdasarkan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah.1Kedua, bersifat memaksa atau berpengaruh terhadap tindakan privat masyarakat luas (publik).Sebagai contoh, kebijakan harga BBM adalah kebijakan publik karena dibuat oleh pemerintah bersifat memaksa dan dapat berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi penduduk, konsumen maupun pengusaha. Islamy (2001, h.20), menyimpulkan bahwa kebijakan publik (public policy) adalah tindakan yang diterapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat pada hakikatnya kebijakan publik mendasarkan pada paham bahwa kebijakan publik harus mengabdi kepada kepentingan masyarakat. Dari kesimpulan tersebut memiliki implikasi bahwa: a. Kebijakan publik itu dalam bentuk perdananya berupa penetapan tindakan tindakan pemerintah b. Kebijakan publik itu tidak cukup hanya dinyatakan tetapi dilaksanakan dalam bentuk nyata. c. Kebijakan publik untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu itu mempunyai dan dilandasi maksud dan tujuan tertentu. d. Bagi kebijakan publik itu harus senantiasa ditujukan bagi kepentingan seluruh anggota masyarakat. Penulis mendefinisikan kebijakan publik sebagai serangkaian keputusan yang diambil dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang bertujuan menyelesaikan persoalan-persoalan publik demi kepentingan masyarakat secara umum. Kebijakan publik dimaksudkan untuk mengatur kehidupan dalam masyarakat agar tidak saling berbenturan.Kondisi ini dapat terjadi pada setiap bidang kehidupan manusia mulai dari kesehatan, sosial budaya, dan perumahan rakyat. John Locke mengatakan bahwa pada dasarnya manusia itu baik, namun karena adanya 1Hogwood, B.W. and L.A. Gunn. 1988. Policy Analysis for the Real World. Oxford University Press. kesenjangan akibat harta atau kekayaan, maka khawatir hak individu akan diambil oleh orang lain sehingga mereka membuat perjanjian yang diserahkan oleh penguasa sebagai pihak penengah. Pada saat seperti yang disampaikan oleh John Locke tersebut kebijakan publik dibutuhkan untuk menjaga keharmonisan dan mereduksi risiko terjadinya perselisihan antar warga negara. Kebijakan publik dapat lebih mudah dipahami jika dikaji tahap demi tahap.Inilah yang menjadikan kebijakan publik menjadi penuh warna dan kajiannya yang cukup dinamis. Berbicara mengenai proses kebijakan publik, Dunn menggambarkan proses kebijakan sebagai berikut: Proses Kebijakan Publik Perumusan Kebijakan Penyusunan Agenda Forecasting Formulasi Kebijakan Rekomendasi Kebijakan Adopsi Kebijakan Monitoring Kebijakan Implementasi Kebijakan Evaluasi Kebijakan Penilaian Kebijakan Sumber: Dunn 1994: 17 Perumusan kebijakan merupakan bagian dari upaya untuk mencari cara dan strategi yang tepat dan bukan suatu yang terpisah. Tahap ini sering disepelekan dalam pembuatan kebijakan publik. Pada tahap ini sebuah fenomena sosial yang sudah diketahui persoalan harus dirumuskan seteleh terlebih dahulu diidentifikasi atau dipilih-pilih untuk menentukan mana diantaranya yang paling mendesak atau menjadi prioritas dibandingkan persoalan yang lain. Penulis menyatakan bahwa pada tahap ini merupakan yang cukup krusial.Pada tahap ini dapat dikatakan sebagai langkah paling awal yang terkadang sulit untuk memulainya. Dalam sebuah permainan catur, langkah awal cukup dapat dijadikan sebagai tanda atau penentu langkah selanjutnya, apabila langkah ini buruk, maka dapat dipastikan langkah selanjutnya akan buruk meskipun tidak ada jaminan akan hal ini karena memang pada dasarnya setiap tahapan dalam pembuatan kebijakan publik adalah hal yang tidak dapat dianggap sepele. Diantara tahapan penting dalam perumusan kebijakan adalah penyusunan atau pengaturan agenda atau yang populer disebut agenda setting. Pada proses ini mulai timbul pergulatan antar kepentingan yang lebih intensif dibandingkan dengan tahap sebelumnya yaitu identifikasi masalah. Kompetisi antar stakeholder terjadi untuk mendapatkan posisi yang menguntungkan sehingga berdampak pada pengambilan keputusan. Formulasi kebijakan menurut Dye (1987), pada dasarnya merupakan usaha pemerintah melakukan intervensi terhadap kehidupan publik untuk mencari pemecahan masalah (problem solving).Dalam melakukan intervensi ini pemerintah diberikan kewenangan untuk memaksa publik agar kebijakan yang telah ditetapkan dan ditaati sesai dengan tujuan yang diharapkan. Ini yang menjadikan kebijakan publik berbeda dengan kebijakan manapun karena secara sadar publik memeberikan kewenangan itu melalui wakilnya diparlemen. Adopsi kebijakan adalah termasuk dalam serangkaian proses pembuatan kebijakan publik yang pada prinsipnya menetapkan rancangan kebijakan menjadi sebuah kebijakan. Tahap ini lebih bersifat formal prosedural untuk mendapatkan legitimasi hukum, sehingga dalam kajian ilmu administrasi publik kurang mendapatkan perhatian.Pertimbangan politis juga terkadang menjadi ganjalan tersendiri pada tahap ini terutama yang kental dan syarat muatan kepentingan.Berbeda dengan kebijakana yang bersifat teknis administratif dan sifatnya rutin.Konsep implementasi kebijakan merupakan sebuah kegiatan atau program yang tertuang di dalam kebijakan publik untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.Implementasi kebijakan adalah tahapan untuk melaksanakan desain kebijakan publik yang telah dirumuskan dan membutuhkan berbagai aktivitas pendukung lainnya seperti sosialisasi dan peningkatan kapasitas pelaksana kebijakan. Dapat dikatakan implementasi sebuah proses yang rumit dan kompleks yang melibatkan berbagai aktivitas serta stakeholder. Implementasi juga memiliki model atau gayanya masing-masing.Seperti model implementasi kebijakan Grindle yang setidaknya ada tiga variabel, pertama isu atau konten kebijakan. Kedua Impelementator atau pelaksana kebijakan dan kelompok target. Ketiga lingkungan.George C. Edward III yang memiliki empat variabel yaitu komunikasi yang dimaksudkan agar kebijakan berjalan dengan baik sebab komunikasi yang efektif. Kedua sumber daya baik manusia maupun finansial.Ketiga Disposisi yaitu karakteristik yang berkaitan langsung dengan implementor.Keempat adalah struktur birokrasi yang mencakup dua hal fundamental yaitu desain birokrasi dan Standart Operating Procedur (SOP). Van Meter dan Van Horn lebih banyak memiliki variabel daripada Edward III dengan tujuh variabel. Pertama yaitu standar dan sasaran kebijakan. Kedua Kinerja kebijakan. Ketiga Sumber daya. Keempat komunikasi antar implementator. Kelima karakterisktik implementator. Keenam lingkungan sosial, ekonomi, dan politik. Terakhir sikap implementator kebijakan. Tahap terakhir dalam proses kebijakan publik yaitu evaluasi. Evaluasi adalah serangkaian kegaiatan yang dilakukan untuk menilai atau dapat dikatakan sebagai upaya meminta pertanggungjawaban atas kebijakan yang telah dilaksanakan. Ada banyak hal yang menjadi bahan evaluasi kebijakan seperti apa saja yang telah dilakukan, kemudian apa hasil dan manfaat dari program atau kebijakan yang telh dilaksanakan tersebut. Evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan di ujung suatu program atau kebijakan diimplemenetasikan, melainkan sejak perumusan kebijakan juga perlu dilakukan evaluasi yang berimplikasi pada keseluruhan proses kebijakan. Evaluasi pada tahap awal dilakukan untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil berdasarkan pada aspirasi masyarakat atau tidak. Evaluasi diperlukan bukan hanya pada saat ditemukan sebuah masalah, melainkan dilakukan secara paralel dengan implementasi kebijakan.Ini dimaksudkan apabila sejak awal perumusan kebijakan ditemukan masalah, maka dapat dengan cepat dicarikan solusinya. Evaluasi pada tahap implementasi bukan hanya mengacu pada SOP, tetapi juga pada tujuan yang telah ditetapkan. DEFINISI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK Implementasi kebijakan merupakan suatu tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu program kebijakan publik harus diimplementasikan agar mempunyai dampak yangdapat dirasakan oleh publik dan mencapai tujuan yang diinginkan. Implementasi dipandang dalam pengertian yang luas merupakan alat hukum dimana berbagai aktor, organisasi,prosedur dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraihdampak atau tujuan yang diinginkan (Jemes P. Later dan Joseph Stewart dalam Winarno,2005). Pressman dan Wildavsky (1973), implementasi adalah proses interaksi antara penentuantujuan dan tindakan untuk mencapai tujuan. Pada dasarnya adalah kemampuan membangunhubungan dalam mata rantai sebab akibat agar kebijakan bisa berdampak. Tujuan programharus didefinisikan secara jelas dan dipahami dengan baik, sumber daya harus disediakan,rantai komando harus bisa menyatukan dan mengontrol sumber daya tersebut, sistem harusberkomunikasi secara efektif dan mengontrol individu dan organisasi yang terlibat dalampelaksanaan tugas (Parsons, 2008). Dengan demikian maka, implementasi merupakan wadah penghubung antar program untuk mencapai tujuan maka perlu langkah-langkah dalam mengidentifikasi masalah, menegaskantujuan yang ingin dicapai serta merancang struktur proses implementasi. Kondisi umum bagi efektivitas implementasi yaitu: a. Tujuan yang jelas dan konsisten; b. Teori kausal yang memadai; c. Proses implementasi disusun secara legal (oleh lembaga yang mempunyai legitimasi) untuk menjamin kepatuhan dari aparat implementasi dan kelompok sasaran; d. Keterampilan dan komitmen aparat implementasi; e. Dukungan dari kelompok kepentingan dan pemegang kuasa; Perubahan sosial ekonomi tak mempengaruhi dukungan politik dan teori kausal. MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK Ada 3 model dalam proses implementasi kebijakan yaitu model studi kasus, top down dan bottom up. Model studi kasus memiliki karateristik seperti mengaji proses dan Mekanisme implementasi secara mendalam, fokus pada keunikan proses, bukan generalisasi dari mekanisme implementasi. Model top-down memiliki karakteristik seperti melakukan eksplanasi kenapa suatu kebijakan berhasil atau gagal diimplementasikan, mengidentifikasi atau menguji variabel variabel eksplanatori sehingga dapat melakukan generalisasi, mengedepankan perspektif pembuat kebijakan, kebijakan diasumsikan sebagai given. Sementara karakteristik model bottom-up adalah melakukan elaborasi bagaimana kelompok bawah terlibat dan memaknai proses implementasi, mengedepankan perspektif pelaksana dibawah, klien, dan masyarakat serta kebijakan diasumsikan sebagai variabel atau problematis. a. Implementasi Model Bottom-Up Dalam penelitian kali ini, model kebijakan yang hendak dieksplorasi adalah model bottom up. Dengan alasan bahwa kelebihan dari penggunaan model bottom-up yang dapat melihatsecara jelas apa yang terjadi pada tataran masyarakat dimana model ini adalah sebagai kritikdari model top-down yang tidak bisa melihat apa yang dialami oleh masayarakat. Konsep perencanaan dari bawah (bottom upplanning) lahir sebagai reaksi terhadap proses marginalisasi peranan masyarakat dalam pembangunan, sebab pembangunan di domonasi oleh sekelompok aktor yang kadangkala bukan anggota masyarakat, misalnya teknokrat,birokrat dan golongan professional. Pendekatan dari bawah seperti yang dikemukakan oleh Sabatier adalah: 1. Bila pendekatan top down analisisnya berdasar perspektif policydecision dan menitikberatkan pencapaian tujuan legal formal,maka pendekatan bottom up analisisnyadimulai dengan mengidentifikasi jaringan mengenai aktor-aktor yang mengidentifikasi jaringan mengenai aktor-aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan disuatu daerah dan mempertanyakan masalah tujuan-tujuan dan hubungan diantara mereka. Hubungan diantara aktor digunakan untuk mengembangkan teknik jaringan identifikasi aktor-aktor lokal, regional dan nasional yang terlibat dalam perencanaan, pembiayaan dan pelaksanaan yang relevan. Metode ini berarti membuat mekanisme analisis yang bergerak dari perspektif birokrat tingkat bawah ke perspektif pembuat kebijakan yang berada di puncak hierarki birokrasi; 2. Bottom up lebih memfokuskan pada isu isu dan permasalahan yang timbul dalam implementasi kebijakan; 3. Berlawanan dengan pendekatan top down yang fokusnya tertuju pada sistem yang telah terstruktur dan diarahkan dari atas untuk mencapai hasil hasil yang diharapkan oleh parapembuat kebijakan, maka pendekatan bottom up cenderung memfokuskan perhatiannya pada pemahaman tentang interaksi yang terjadi di antara berbagai aktor di dalam suatu jaringan kebijakan (Sabatier,1986). Meskipun demikian, pendekatan bottom up dalam kenyataannya mempunyai kekuatandan kelemahan. Menurut Sabatier kekuatannya adalah: 1. Bottom up memberikan kerangka metodologi yang jelas dan akuratuntukmengindentifikasi suatu jaringan kebijakan (policy network) atau struktur implementasi,dengan metode teknik jaringan yang dikembangkan akan diperoleh gambaran mengenai proses interaksi antar aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan; 2. Bottom up memulai analisisnya bertolak dari perspektif permasalahan yang dirasakanpara aktor dan strategi mereka, maka dapat merelativitisir arti penting programpemerintah dengan kekuatan ekstra pemerintah seperti swasta, kekuatan pasar di dalammemecah permasalahan-permasalahan tersebut; 3. Bottom up tidak mefokuskan analisisnya pada pencapaian tujuan-tujuan legal formalkebijakan, maka dapat leluasa mendemonstrasikan semua ragam konsekuansi yangditimbulakn oleh program-program pemerintah. Sedangkan beberapa kelemahan dari pendekatan bottom up antara lain: a. Pendekatan bottom up menekankan kemampuan pinggiran yang fokus perhatiannya pada tujuan-tujuan para aktor dan strategi-strateginya, sehingga pendekatan ini mudahterjebak melakukan underestimate terhadap pengaruh pusat; b. Bottom up melihat bahwa sumber daya yang dimiliki oleh aktormerupakan sesuatuyang given terhadap proses alokasi dan distribusi sumber daya tanpa disertaipenyelidikan lebih jauh mengenai upaya-upaya aktor lainnya dalam mempengaruhi ruleof the game; c. Bottom up menganggap keterlibatan aktor dalam proses implementasisebagai suatu yanggiven, tanpa berusaha menjelaskan lebih jauh mengenai upaya-upaya sebelumnya yangdilakukan oleh berbagai macam aktor yang mempengaruhi konfigurasi partisipasi; d. Bottom up tidak berhasil menyajikan sebuah teori eksplisit di dalammenjelaskan faktorfaktor yang mempengaruhi kepentingankepentingan subjektif para aktor, sedang metodejaringan hubungan antar aktor yang digunakan sangat berguna sebagai titik awal untukmengidentifikasi aktor-aktor yang terlibat dalam area implementasi kebijakan dan untukmejelaskan kaitan faktor-faktor sosial, ekonomi, legal yang menstruktur persepsi sumberdaya dan partisipasi aktor-aktor tersebut (Sabatier, 1986). Ada beberapa ahli yang memberikan pemahaman mengenai implementasi model bottom-up yakni: a. Model Elmore, dkk Model yang disusun oleh Richard Elmore (1979), Michael Lipsky (1971), dan Benny Hjern & David O'Porter (1981) ini mengidentifikasi jaringan aktor yang terlibat dalamproses pelayanan dan menanyakan kepada mereka; tujuan, strategi, aktivitas dankontak-kontak yang mereka miliki. Model implementasi ini didasarkan pada jeniskebijakan publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasikebijakannya atau tetap melibatkan pejabat pemerintah namun hanya ditataran rendah. Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat harus sesuai dengan harapan, keinginan, publikyang menjadi target atau kliennya, dan sesuai pula dengan pejabat eselon rendah yangmenjadi pelaksananya. Kebijakan model ini biasanya diprakarsai oleh masyarakat, baiksecara langsung maupun melalui lembaga-lembaga nirlaba kemasyarakatan (LSM). b. Model Jaringan Model ini memahami bahwa proses implementasi kebijakan adalah sebuah complex ofinteraction processes diantara sejumlah besar aktor yang berada dalam suatu jaringan (network) aktor-aktor yang independen. Interaksi diantara para aktor dalam jaringan tersebutlah yang akan menentukan bagaimana implementasi harus dilaksanakan, permasalahan-permasalahan yang harus dikedepankan dan diskresi-diskresi yang diharapkan menjadi bagian penting di dalamnya. Pemahaman ini antara lain dikembangkan dalam sebuah buku yang ditulis tiga orang ilmuwan Belanda, yaituWalter Kickert, Erik Hans Klijn dan Joop Koppenjan, Managing Complex Networks : Strategies for the Public Sector (1997). Pada model ini,semua aktor dalam jaringanrelatif otonom, artinya mempunyai tujuan masing-masing yang berbeda.Tidak ada aktorsentral, tidak ada aktor yang menjadi koordinator.Implementasi model jaringan ini memosisikan koalisi atau kesepakatan di antara aktoryang berada pada sentral jaringan menjadi penentu implementasi kebijakan dankeberhasilan. Pemahaman jaringan ini dapat dikatakan dikembangkan dari teorikomunikasi jaringan yang dikembangkan pada awal tahun 1980-an, oleh Everett M.Rogers dan Lawrence Koncaid (1981) dan di Indonesia dikembangkan dalam bentuk studistudi jaringan komunikasi dengan metode pemetaan sosiometri (Nugroho, 2008). c. Model Smith Model pendekatan bottom-up menurut smith ini akan memberikan skor tinggi pada padarealisme dan kemampuan pelaksanaan. Dikarnakan implementasi kebijakan tidakberjalan secara linier atau mekanistis tetapi membuka peluang terjadinya transaksimelalui proses negoisasi untuk menghasilkan kompromi terhadap imlementasi kebijakan yang bertarget group.Menurut Smith dalam Islamy (2001), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empatvariabel, yaitu : 1. Idealized policy: yaitu pola interaksi yang digagas oleh perumuskebijakan dengan tujuanuntuk mendorong, mempengaruhi dan merangsang target group untuk melaksanakannya; 2. Target groups: yaitu bagian dari policy stakeholders yangdiharapkan dapat mengadopsipola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan. Karenakelompok ini menjadi sasaran dari implementasi kebijakan, maka diharapkan dapatmenyesuaikan pola-pola perilakukan dengan kebijakan yang telah dirumuskan; 3. Implementing organization: yaitu badan-badan pelaksana yang bertanggung jawab dalam implementasi kebijakan; 4. Environmental factors: unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik. Dalam pelaksanaan atau implementasi kebijakan selalu muncul hal-hal yang tidak sesuaidengan keinginan bagaimana kebijakan tersebut bisa berjalan sesuai dengan apa yang direncanakan. Ketika masyarakat sebagai objek dari kebijakan tidak mau mematuhi atau melaksanakan kebijakan tersebut, dikarnakan masyarakat mempunyai sudut pandang sendiri sendiri sehingga ada yang pro dan kontra terhadap implementasi kebijakan sehingga menimbulkan hambatan. Anderson (1979) mengemukakan faktor-faktor yang menjadi penyebab anggota masyarakat tidak mematuhi dan melaksanakan suatu kebijakan publik, yaitu : a. Adanya konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum, dimana terdapat beberapaperaturan perundang-undangan atas kebijaksanaan publik yang bersifat kurang mengikat individuindividu; b. Karena keanggotaan seseorang dalam suatu kelompok atau perkumpulan, dimana mereka mempunyai gagasan atau pemikiranyang tidak sesuai dengan peraturan hukum atau keinginan pemerintah; c. Adanya keinginan untuk mencari keuntungan dengan cepat diantara para anggotamasyarakat yang cenderung bertindak dengan menipu/ melawan hukum; d. Adanya ketidakpastian hukum atau kebijaksanaan “ukuran” kebijakan yang mungkin saling bertentangan satu sama lain, yang dapat menjadi sumber ketidakpatuhan orang terhadap hukum atau kebijakan publik; e. Apabila suatu kebijakan ditentang secara tajam karena kebijakan tersebut bertentangan dengan system nilai yang dianut masyarakat, secara luas atau kelompok kelompoktertentu dalam masyarakat. Selain itu Anderson (1979) juga menunjukkan faktor-faktor pendukung pelaksana suatu kebijakan, diantaranya : 1. Respek anggota masyarakat terhadap otoritas dan keputusan-keputusan badan badanpemerintah; 2. Adanya kesadaran untuk menerima kebijakan; 3. Adanya keyakinan bahwa kebijakan itu dibuat secara sah, konstitusional dan dibuat olehpejabat pemerintah yang berwenang melalui prosedur yang telah ditetapkan; 4. Sikap menerima dan melaksanakan kebijakan publik karena kebijakan-kebijakan kontroversial yang lebih banyak mendapatkan penolakan warga masyarakat dalam pengimplementasiannya. Kriteria yang dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan publik menurut Dunn adalah: a. Faktor hambatan fisik (Physical Constraint) yaitu dalam upaya untuk pencapaian tujuandan sasaran kebijakan kemungkinan dibatasi oleh kendala keadaan atau keterbatasan pengetahuan tentang teknologi; b. Faktor hambatan hukum (Law Constraint) yaitu keterikatan kepada hukum publik, hak kepemilikan dan peraturan peraturan lembaga yang ada sering menghambat upaya pencapaian tujuan; c. Faktor hambatan organisasional (Organizational Constraint) yaitu keadaan struktur organisasi, keterbatasan wewenang dan proses pengaturan pelaksanaan yang tersedia untuk mengimplemntasikan kebijakan dapat membatasi upaya untuk mencapai tujuan; d. Faktor hambatan politik (Political Constraint) yaitu keberadaan kelompok oposisipolitik dapat menimbulkan hembatan yang luar biasa dalam implementasi kebijakan,juga dalam kesediaan penerimaan awal dari suatu kebijakan. oposisi seperti ini sering dicerminakan dengan adanya kelebaman organisasi (sulit berubah) dan kecenderungan untuk menghindari masalah dengan membuat keputusan incremental dalam pembuatan keputusan; e. Faktor hambatan distributif (Distributional Constraint) yaitu kebijaksanaan publik yang semula telah dirancang untuk menyediakan. pelayanan sosial secara efisien sering dibatasi oleh kebutuhan untuk meyakinkan bahwa biaya program yang mencapai manfaat efisiensi bersih tertinggi, seperti yang telah kita ktahui, seringkali merupakanprogram yang menghasilkan keadilan sosial terendah dan demikian pula sebaliknya; f. Faktor hambatan anggaran yaitu kendala anggaran pemerintah yang sangat tebatas, sehingga penentuan sasaran dan tujuan perlu mempertimbangkan ketersediaan dana. Anggaran ini dapat menyebabkan timbulnya masalah dimana analisis dipaksa untukhanya mempertimbangkan alternative memaksimalkan efektvitas dengan keterbatasan sumberdaya. Menurut Malcolm L Goggin dan 3 rekannya (Suhartoyo, 2002), keberhasilan implementasi kebijkaan publik dipengaruhi oleh kapasitas kemampuan organisasi yang berupa tujuan organisasi, struktur organisasi, kemampuan personil dan tersedianya sarana finansial yang memadai. Disebutkan dalam buku sebagai berikut: “Here, organizational capacity means simply the ability of a governmentto get itsacttogether to institute the structure, the routines, and the coordinated effort of talentedpeople sufficient to convert a policy message into asset of real achievements. Of course a state's administrative ability to deal with some policy issue may in turn be affected by other forces”.“Most of implementation take place in, through, and among large bureaucrat actors.These units must necessarily be included as a part of any plausible explanation for the style, ouput, an aoutcome of the process.” Dalam tesisnya, Hjern menyebutkan ada 5 variabel yang mempengaruhi kinerja keberhasilan implementasi kebijakan, yakni: 1. Faktor formulasi kebijakannya tu sendiri, apakah cakupannya cukup jelas; 2. Faktor otoritas pejabat pembuat kebijakan, semakin tinggi otoritas akan semakinditaati oleh pelaksana sehingga akan lebih berhasil; 3. Faktor kejelasan sasaran dan tujuan kebijakan, semakin jelas sasaran dantujuannyaakan semakin mudah implementasinya; 4. Faktor frekuensi penyampaian kebijakan, semakin sering disosialisasikan akan lebihberhasil implementasinya; 5. Faktor adanya jaringan kerja yang saling mendukung yaitu adanya persamaan visi,misi dan persepsi segenap jajaran manajemen terhadap tujuan kebijakan. Adanya persatuan dan kesatuan komitmen manajemen dalam upaya mencapai tujuan kebijakan, serta adanya kejelasan tujuan dan sasaran kebijakan. Menurut Philips B. Crosby yang ditulis oleh John Elim MBA ada 3 hal utama yang mempengaruhi keberhasilan kinerja implementasi kebijakan (Warta Pengawasan: 1997dalam Suhartoyo, 2002) yaitu: 1. Kebijakan harus jelas, mudah dimengerti dan dikomunikasikan ke seluruh anggota organisasi; 2. Komitmen pimpinan dan staf terhadap upaya pencapaian tujuan kebijkan baik pimpinan level puncak, menengah maupun level bawah; 3. Kapasitas kemampuan personil yang memadai yang akan melaksanakan kebijakan tersebut. dalam hal ini pendidikan dan pelatihan personilnya, yang bukan pendidikan didalam kelas, tetapi pendidikan dan pelatihan yang mengarah kepada diskusi bersama untuk memecahkan suatu masalah yang dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan. Pada prinsipnya Philips B Crosby menekankan bahwa perbaikan kinerja keberhasilan implementasi kebijaksanaan organisasi harus dimulai dari manajemen organisasi pelaksanaitu sendiri. William N Dunn telah menyederhanakan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja keberhasilan implementasi kebijakan ada 3 elemen pokok yang saling memiliki hubungan timbal balik, yaitu 1. Pembuat kebijakan yaitu yang menyangkut formulasi dan tujuan kebijakan; 2. Pelaku atau pelaksana kebijakan yang menyangkut organisasi dan kemampuan sumberdaya manusia. Lingkungan kebijakan yaitu menyangkut kelompok masyarakat yang menerimalangsung maupun tidak langsung akibat dari kebijakan, bukan hanya orang-orangyang berada disekitar dan mempengaruhi pemerintah selaku penentu akhir suatukebijakan (mereka ini semua termasuk dalam kotak pelaku atau aktor kebijakan)melainkan lebih menunjuk pada bidang bidang kehidupan masyarakat yang dapatatau perlu dipengaruhi oleh pelaku kebijakan. Lingkungan ini terdiri atas sosial budaya, ekonomi dan politik. Sosial budaya masyarakat desa, merupakan kondisisistem hubungan dan interaksi masyarakat desa. Sedangkan perekonomian desa,merupakan kondisi ekonomi dari masyarakat desa yang dapat mempengaruhi proses pelaksanaan program dan Kondisi politik desa terkait dengan dinamika perebutankekuasaan dalam masyarakat desa khususnya perebutan kekuasaan untuk bertanggung jawab dalam pelaksanaan program. Berdasarkan konsep-konsep tersebut dapat dirumuskan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan kinerja implementasi kebijaksanaan yang terutama adalah faktor intern berupa: 1. Faktor kejelasan sasaran, tujuan dan hasil yang diinginkan dari kebijakan; 2. Faktor ketidaksesuaian strategi implementasi kebijakan; 3. Faktor ketidaksesuaian struktur organisasi; 4. Faktor kekurangmampuan personil auditornya; 5. Faktor ketidakcukupan dana biaya operasional. PENERAPAN IMPLEMENTASI PROGRAM Keutamaan penelitian ini adalah penerapan pendekatan nilai budaya sakaisambayansebagai bentuk inovasi implementasi kebijakan. Hal ini akanmembantu Pemerintah Daerah dalam membangun desa dengan cara membuat program yang proses implementasinya menggunakan pendekatan budaya. Dengan pendekatan budaya, masyarakat dapat menerima program dengan baik dan dapat bekerja sama mengimplementasikan program, sehingga tujuan program dapat berhasil dicapai. 1. Mendukung Kebijaksanaan Pemerintah Daerah Gerakan Serentak Membangun Kampung atau yang lebih dikenal dengan GSMK, ini merupakan program unggulan Bupati Tulang Bawang, Ir. Hi. Hanan A. Rozak, MS dan wakil Bupati Tulang Bawang, Heri Wardoyo, SH. Program GSMK memprioritaskan pemerataan pembangunan infrastruktur di 15 Kecamatan se-TulangBawang yang terdiri dari 147 Kampung dan 4 Kelurahan dibangun secara serentak dengan pembiayaan yang bersumber dari APBD dan APBN sebesar Rp 200.000.000,- pertahun dan perkampung secara berkesinambungan. Program unggulan ini cukup spektakuler, pencanangan GSMK dimulai pada tahun 2013, yang kemudian berlanjut pada tahun 2014, 2015 dan hingga kini tahun 2016 tetap berlanjut. GSMK tidak hanya berhasil meningkatkan pembangunan infrastruktur perkampungan dan budaya gotong royong masyarakat, tetapi juga telah menghantarkan Bupati dan Wakil Bupati ini untuk kesekian kalinya menerima penghargaan dan apreseasi, baik di tingkat lokal bahkan nasional. 2. Aspek Budaya dan Pengetahuan Menghasilkan pendekatan baru dalam implementasi kebijakan yang lebih dekat dengansasaran program. Karena menghasilkan interaksi dan pengetahuan baru yang lebih baik dengan memasukkan nilai sakaisambayan dalam proses implementasi, dan hal ini dianggap sebagai inovasi. BAB V PENDEKATAN BUDAYA LAMPUNG Kabupaten Tulang Bawang terbentuk padan 20 Maret 1997. Namun pada tahun 2008 Kabupaten Tulang Bawang dimekarkan menjadi tiga wilayah otonom baru (DOB) yaitu Kabupaten Tulang Bawang, Kabupaten Tulang Bawang Barat, dan Kabupaten Mesuji. Penduduk asli Kabupaten Tulang Bawang yaitu bersuku Lampung Pepadun dengan marga yang dikenal dengan sebutan Megou Pak Tulang Bawang (Empat Marga Tulang Bawang). Selain itu, logat yang dipakai dalam bahasa sehari-hari masyarakat asli Tulang Bawang yaitu logat menggala dengan dialek “O”. Karekteristik penduduk pribumi Lampung Tulang Bawang, diantaranya hidup berkelompok hingga membentuk kampung dengan pola menetap, sebagian berada di pinggir-pinggir dan bantaran sungai dengan pola menetap dan ada pula yang tidak menetap. Tidak menetap dimaksud, antara lain tempat tinggal mereka hanya ditempati pada saat-saat tertentu, seperti pada musim bercocok tanam maupun mencari ikan. Prinsip dasar orang lampung dalam kehidupan sehari-hari menunjukan suatu corak keaslian yang khas penduduk asli Lampung. Khususnya pada masyarakat menggala yang disusun sebagai berikut : 1. Pi'il pesenggiri yang berarti segala sesuatu yang menyangkut harga diri prilaku dan sikap yang dapat menjaga, menegakkan nama baik martabat secara pribadi maupun secara kelompok yang senantiasa dipertahankan. 2. Sakai sambayan, meliputi pengertian yang luas, seperti gotong royong, tolong menolong, toleransi terhadap 17esame maupun terhadap orang lain baik secara moril maupun materil pada waktu senang maupun kesusahan. 3. Nemui nyimah yang berarti menghormati dan bermurah hati kepada tamu. 4. Nengah nyapur adalah sebagai tata kehidupan masyarakat Lampung khususnya menggala dalam pergaulan dan bermasyarakat,ikut berpartisipasi terhadap kegiatan yang bersifat membangun. 5. Bejuluk beadek adalah sebuah nama panggilan diwaktu kecil yang tentunya berdasarkan titei gematei (peraturan atau cara-cara yang sesuai dengan hukum adat orang Lampung) yang diwariskan secara turun temurun dari zaman dahulu. Namun kini penduduk Kabupaten Tulang Bawang didominasi warga pendatang transmigran dari daerah Jawa, Sunda dan Bali, dengan mata pencarian utama yaitu berkebun karet, sawit dan bertani. Karena didominasi oleh pendatang bersuku Jawa, Sunda dan Bali, maka mayoritas agama yang dianut ialah Islam dan Hindu. Namun suku yang amat dominan ialah suku Jawa, sehingga bahasa Jawa sangat umum digunakan oleh penduduk sebagai bahasa seharihari. Akan tetapi dengan beragamnya suku yang tinggal di Kabupaten Tulang Bawang tidak melunturkan kebersamaan warganya dalam membangun daerahnya, sesuai dengan semboyan yang dimiliki Kabupaten Tulang Bawang yaitu ”Sai Bumi Nengah Nyappur”. Kondisi budaya di Kabupaten Tulang Bawang yang sudah beragam bukan berarti meminggirkan satu budaya dan kemudian memajukan satu budaya lainnya. Setiap suku, pasti memiliki budayanya masing-maisng yang diakui dan dijunjung tinggi penerapannya dalam implementasi kehidupan, meskipun dalam lingkungan yang beragam suku. Budaya telah mengatur pola kehidupan yang baik bagi anggota sukunya, bersama sesama sukuny atau dengan masyarakat umum. Budaya setiap suku tidaklah selalu berbeda, budaya gotong royong misalnya. Gotong royong yang berasal dari bahasa jawa dan sudah dibakukan dalam kaidah bahasa Indonesia yang dibenarkan EYD, tidak hanya dimiliki oleh masyarakat bersuku jawa saja. Masyarakat suku Lampung misalnya, mengenal budaya gotong royong dengan nama sakai sambayan. Hal terjadi pada suku Bali yang juga mengenal budaya gotong royong dalam tatanan kehidupan bermasyarakatnya. Kondisi keberagaman budaya yang ada di Tulang Bawang ini bukan secara kebetulan dijadikan pondasi oleh Bupati Tulang Bawang dalam menentukan penerapan program GSMK. Implementasi program GSMK berbasis budaya mampu diterapkan sampai mencapai keberhasilan karena kondusifitas kehidupan lintas agama dan lintas budaya yang terlihat di Tulang Bawang. Jika dipahami lebih jauh, sebenarnya isu SARA merupakan konteks yang rawan. Rawan akan perpecahan, kesalahpahaman, namun juga mampu menjadi kekuatan besar jika dipersatukan.dalam hal ini, pemerintah Kabupaten Tulang Bawang telah didukung oleh kondisifitas budaya masyarakatnya. Budaya yang dipilih pun sudah tepat, budaya gotong royong atau dalam bahasa lampung disebut sakai sambayan yang menjadi jati diri setiap suku yang bertempat tinggal dan berkembang di Tulang Bawang. Implementasi program GSMK, yang merupakan program unggulan dari Bupati Tulang Bawang, sudah berjalan sejak tahun 2013. Memasuki tahun ke lima, implementasi program GSMK tetap berjalan atas dasar gotong royong. Seperti latar belakang terbentuknya program GSMK yang didasari oleh budaya gotong royong yang ada di masyarakat. Pembangunan yang diserahkan langsung kepada kampung akan melahirkan pembangunan yang merata karena adanya rasa kebersamaan dan memiliki oleh warga kampung tersebut. Selanjutnya, terbangunnya kampung akan ikut memajukan pembangunan kabupaten. Program GSMK diimplementasikan satu tahun sebelum Pemerintah Pusat menetapkan Undang-Undang Nomor 06 Tahun 2014 tentang Desa. Hal ini berarti bahwa Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang telah selangkah lebih cepat menemukan cara untuk membangun desa berdasar pada budaya masyarakat setempat. Ada perubahan pengalokasian dana tentu saja ketika sebelum dan sesudah adanya Undang-Undang Desa. Sebelum adanya UndangUndang Desa, penyaluran dana untuk program GSMK dilakukan dalam bentuk alokasi dana kampung yang diambil dari APBD Kabupaten Tulang Bawang sebesar Rp200juta per kampung per tahun. Sementara setelah adanya Undang-Undang tentang Desa Tahun 2014, anggaran dana untuk implementasi program GSMK dinaikkan menjadi Rp225 juta per kampung pertahun diberlakukan mulai tahun 2015 sejak pembangunan tahap I. Anggaran tersebut bersumber dari dana desa (APBN) dan alokasi dana desa (APBD Kabupaten Tulang Bawang). Pengajuan, perencanaan penggunaan dana, penyaluran, dan penggunaan dana program GSMK tersebut dilakukan melalui rantai komando yang hierarki dan tidak berubah baik sebelum atau sesudah adanya Undang-Undang tentang Desa. Perencanaan pembangunan dimulai dari hasil Musyawarah Rencana Pembangunan Kampung (Musrenbang Kampung) yang dihimpun dari usulan setiap warga atau perwakilan warga yang ikut musyawarah tersebut. Hasil Musrenbang Kampung kemudian diusulkan ke Pemerintah Kecamatan yang akan dibahas dalam Musrenbang Kecamatan. Pada tahap ini, verifikasi oleh Asisten Teknis, Fasilitator Kecamatan beserta Camat setempat akan mengantarkan Tim Pembina dan Kordinasi Kecamatan mengusulkan alokasi dana Bantuan Langsung Masyarakat Program GSMK ke Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang. Persetujuan Pemerintah Kabupaten akan dituangkan dalam Surat Keputusan Bupati tentang Pelaksanaan Program GSMK yang diperbaharui setiap tahun. Langkah terakhir pada tahap perencanaan adalah Kampung melakukan penyusunan rincian kegiatan dan pembiayaan secara detail. Terbitnya Surat Keputusan Bupati tentang Pelaksanaan Program GSMK berati dimulainya pencairan dana pembangunan infrastruktur kampung yang jenis-jenisnya telah ditetapkan dalam Surat Keputusan tersebut. Dana GSMK akan disalurkan langsung kerekening Pokmas setelah sebelumnya Pokmas mengajukan permohonan pencairan dana kepada Tim Pembina dan Koordinasi Kabupaten (DPMK disetujui oleh Bupati) yang difasilitatori oleh Camat dan Fasilitator Kecamatan. Persyaratan pencairan dana untuk program GSMK disertai syarat-syarat yang berbeda setiap tahapnya. Persyaratan diajukan oleh Pokmas yang sengaja dibentuk khusus untuk mengurusi program GSMK tersebut meliputi alokasi dana, lokasi pembangunan, bukti musyawarah dan beberapa bukti kesiapan pembangunan lainnya. Sampai dengan tahap ini, implementasi program GSMK telah menunjukkan keberhasilan tujuan program, yaitu inisitaif dan demokratis. Setiap pembangunan yang direncanakan berasal dari saran masyarakat kampung yang berdasar pada prioritas kebutuhan kampung. Masyarakat telah dipaksa untuk mau dan berani mengurusi kampungnya masing-masing. Berikut adalah alur program GSMK mulai dari perencanaansampai dengan implementasi menurut Peraturan Bupati tentang Pedoman Pelaksanaan Program GSMK bagi Kelurahan di Kabupaten Tulang Bawang Tahun 2017 Gambar 1. Alur Program GSMK Hasil perencanaan pembangunan infrastruktur program GSMK yang disepakati melalui Musrenbang Kampung diusulkan kepada Pemerintah Kecamatan untuk menjadi bahan usulan di Musrenbang Kecamatan. Verifikasi oleh Asisten Teknis, Fasilitator Kecamatan dan Camat akan menjadi langkah awal Tim Pembina dan Koordinasi Kecamatan mengusulkan alokasi dana Bantuan Langsung Masyarakat Program GSMK ke Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang Verifikasi usulan dan penetapan kegiatan di Tingkat Kabupaten melalui Keputusan Bupati Tulang Bawang tentang Program Gerakan Serentak Membangun Kampung/Kelurahan bagi Kelurahan Tahun Anggaran 2017 Penyaluran dan pencairan dana dilakukan setelah Daftar Alokasi Bantuan Dana stimulan ditetapkan, sesuai permohonan Kelompok Masyarakat (Pokmas) Pelaksana Kegiatan Kampung/Kelurahan yang disampaikan melalui Tim Kecamatan. Pokmas difasilitasi Camat dan Fasilitator Kecamatan mengajukan permohonan pencairan dana Bantuan Langsung Masyarakat Program GSMK kepada Tim Pembina dan Koordinasi Kabupaten (DPMK disetujui oleh Bupati). Setelah verifikasi oleh DPMK, dana akan langsung dicairkan ke rekening bendahara Pokmas sesudah Pelaksanaan pembangunan infrastruktur Program GSMK dipimpin oleh Pokmas sebagai Ketua Tim Pembangunan Sumber: Peraturan Bupati Tulangbawang tentang Pedoman Pelaksanaan Program GSMK di Kabupaten Tulang Bawang Tahun 2017 diolah oleh Tim Peneliti. Pada tahap pelaksanaan program GSMK, yaitu pembangunan infrastruktur, Pokmas sebagai Ketua Tim Pelaksana Kegiatan memimpin koordinasi antar masyarakat dalam swadaya pembangunan. Gotong royong dan partisipatif menjadi kekuatan maha besar yang mampu mewujudkan terselesaikannya pelaksanaan program GSMK sampai dengan saat ini. Meski telah diberikan stimulan berupa dana bantuan untuk program GSMK, rasa kebersamaan dan jiwa gotong royong lah yang telah menjadikan terlaksananya program GSMK ini, rasa memiliki atas infrastruktur yang telah dibangun untuk kampung juga telah menciptakan keikhlasan dalam setiap swadaya yang diberikan dalam pelaksaaan program GSMK. Ada hal yang lebih penting, disadari atau tidak, tentang pengaruh tokoh masyarakat yang berkontribusi besar dalam mendorong muncul dan terjaganya jiwa-jiwa gotong royong, swadaya, dan pastisipatif dari setiap warga yang menokohkan tokoh masyarakat tersebut. Program GSMK yang sering dikatakan mirip dengan program sakai sambayan ini nyatanya memang dilatarbelakangi oleh pengaruh emosional yang besar dari tokoh masyarakat. Misalnya adalah Kampung Kagungan Rahayu yang menjadi kampung percontohan dalam keberhasilan program GSMK, ada tokoh masyarakat bersuku Bali yang sangat disegani dan ditokohkan. Kampung Kagungan Rahayu memang hampir dimayoritasi oleh warga bersuku Bali, serta dipimpin oleh Kepala Kampung bersuku Bali, seolah menjadi faktor pendukung bahwa ada pengaruh suku tertentu yang menjadikan program GSMK berhasil dan ada alasan karena suku tertentu program GSMK kurang berhasil. Hal yang perlu digarisbawahi disini adalah bahwa budaya setiap suku tidak selalu berbeda, ada beberapa budaya antar suku yang sama. Misalnya adalah gotong royong, memang benar Kabupaten Tulang Bawang yang merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung akan mengedepankan budaya asli daerah yang dalam program GSMK ini mengedepankan budaya gotong royong dan disebut sakai sambayandalam bahasa Lampung. Namun hal ini tidak berarti suku lain tidak menjadikan budaya gotong royong sebagai unsur utama dalam berkehidupan dimasyarakat. Dalam implementasi program GSMK, ada beragam suku yang tinggal di Kampung Kagungan Rahayu. Namun, kemampuan perangkat kampung dalam mengakomodir setiap elemen untuk mau berpartisipasi dan berswadaya dalam program GSMK menjadi hal umum yang membuktikan bahwa kapasitas kepemimpinan dalam setiap kampung merupakan hal utama, untuk dapat merangkul toko adat, tokoh masyarakat, dan pemuda sehingga mampu menyalurkan pengaruh dan semangat gotong royong. Selama proses pelaksanaan pembangunan infrastruktur kampung, Tim Pembina dan Koordinasi Kabupaten akan melaporkan secara berkala setiap perkembangan pembangunan langsung kepada Bupati. Sedangkan dilapangan, ada Fasilitator Kecamatan yang setiap kecamatan hanya satu orang dibantu oleh Pokmas di masing-masing kampung yang mengawasi proses pembangunan. Hidup dan bertumbuhsuburnya jiwa gotong royong masyarakat kampung dapat dibuktikan dalam tahap pelaksanaan program GSMK ini. Ada banyak jenis swadaya yang dilakukan oleh masyarakat kampung. Banyak diantaranya swadaya tenaga, ada yang berswadaya berupa makanan dan minuman, ada yang merelakan sebagian tanahnya terpotong untuk pembangunan drainase, talud atau pembangunan infrastruktur lainnya. Selama proses pembangunan, permasalahan yang terjadi adalah faktor cuaca yang beberapa kali membuat hasil pembangunan tidak baik. Seperti pembangunan jembatan disalah satu kampung yang runtuh akibat hujan yang terus menerus turun sehingga pembangunan jembatan dinilai gagal. Namun hal ini segera dilaporkan oleh aparat kampung dan segera ditindak oleh Pemerintah Kabupaten melalui Tim Pembina dan Koordinasi Kabupaten. Terselesaikannya pembangunan tahap I akan mewajibkan Pokmas membuat laporan pertanggungjawaban pembangunan tahap I yang akan menjadi salah satu syarat untuk pembangunan tahap II, begitu juga untuk pembangunan tahap III yang harus menyertakan bukti terselesaikannya pembangunan tahap II melalui laporan pertanggungjawaban. Evaluasi akan dilakukan setiap laporan pertanggungjawaban per tahap dilakukan. Program ini didampingi oleh beberapa instansi yang ditunjuk dan ditetapkan oleh Bupati didalam Surat Keputusan Bupati tentang Pelaksanaan Program GSMK yaitu meliputi Asisten Bidang Pemerintahan dan Sosial, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian, dan Pengembangan, Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah, Inspektorat, Bagian Sumber Daya Alam dan Infrastruktur, serta Bagian pemerintahan dan Otonomi Daerah. Kemudian untuk monitoring dan evaluasi dilakukan oleh Tim Pembina dan Koordinasi Kecamatan bersama dengan Fasilitator Kecamatan yang selanjutnya pemeringkatan keberhasilan ditentukan dari kesepakatan rapat koordinasi. Hasil evaluasi akan disampaikan kepada Tim Pembina dan Koordinasi Kabupaten untuk kemudian ditetapkan dalam Keputusan Bupati tentang Penetapan Kelurahan Terbaik dalam Pelaksanaan Program GSMK di Kabupaten Tulang Bawang. Hadiah bagi kelurahan terbaik I berupa dana sejumlah Rp50 juta, terbaik II sejumlah Rp30juta, dan terbaik III sejumlah Rp20 juta. Dana tersebut kemudian menjadi hak masing-masing kampung pemenang. Namun, banyak dari mereka yang menggunakan dana tersebut untuk penambahan dana pembangunan infrastruktur tahun berikutnya, sehingga jumlah pembangunan bisa melebihi target minimum yang telah ditetapkan. Selama ini, penggunaan dana GSMK adalah untuk membangun infrastruktur baru di kampung, belum ada dana yang digunakan untuk pemeliharaan infrastruktur yang sudah ada. Hal ini membuktikan bahwa upaya pembangunan infrastuktur kampung diratakan dan diprioritaskan kepada infrastruktur yang masih 0% sehingga setiap kebutuhan masyarakat atas fasilitas infrastruktur umum dapat dipenuhi. Untuk mewujudkan tujuan penggunaan berkelanjutan dari program GSMK, pemeliharaan infrastruktur diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat kampung melalui musyawarah yang dikoordinir oleh Pokmas Kampung setempat menggunakan dana iuran kampung yang disepakati atau jasa penggantian pemakaian sarana dan prasarana yang telah dibangun. Prinsip demokrasi berupa pembangunan dari, oleh dan untuk kampung telah genap terpenuhi jika setiap kampung mampu mengimplementasikan program GSMK dengan baik dan sesuai dengan arahan, sehingga tujuan program tercapai dan nilai gotong royong, partisipatif, memiliki, dan tanggungjawab juga terpupuk dan dapat tumbuh subur dikampung. Tranparansi penerimaan dana, penggunaan sampai dengan kas yang tersisa wajib dilakukan oleh Pokmas dan Kepala Kampung kepada seluruh masyarakat kampung. Transparansi harus dilakukan ditempat-tempat umum yang sudah ditentukan oleh Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang dalam Surat Keputusan Bupati tentang Pelaksanaan Program GSMK. Prakteknya, transparansi lebih banyak dilakukan menggunakan media penyampaian berupa banner yang berisi informasi pemasukan, penggunaan dan sisa dana program GSMK yang dipasang didepan Balai Kampung. Melalui cara seperti ini, masyarakat dapat mengetahui jumlah dana yang diterima, dipakai dan yang tersisa. Implementasi program GSMK di 147 Kampung dari 15 Kecamatan se-Kabupaten Tulang Bawang yang sampai saat ini telah disoroti banyak pihak karena keberhasilannya ternyata masih menyisakan kebiasaan menoleransi ketidakpatuhan atas peraturan yang ditetapkan. Hal yang paling jelas dan sudah membudaya adalah keterlambatan pembuatan laporan hasil pelaksanaan program GSMK yang berarti menunda pengajuan pencarian dana untuk tahap selanjutnya. Usulan kegiatan yag harusnya sudah diajukan ke Pemerintah Kabupaten pada bulan Maret harusnya dapat terlaksana pada bulan Juli dan selesai paling akhir pada akhir bulan November. Namun dalam prakteknya, sikap kurang tegas dari Tim Pembina dan Koordinasi Kabupaten dan pendampingan yang kurang dari Fasilitator Kecamatan telah membuat beberapa kampung mangkir dari kewajibannya membuat laporan pelaksanaan program tahap sebelumnya, sehingga menyebabkan pencairan dana program GSMK tahap selanjutnya tertunda. Hal ini kemudian berdampak pada tidak lagi serentak pelaksanaan program GSMK diseluruh kampung se-Kabupaten Tulang Bawang. Sikap toleransi dilonggarkan sehingga surat peringatan yang diberikan nyatanya tidak lantas membuat penyakit semacam ini terselesaikan. Tetap ada kampung yang belum menganggap laporan penting sehingga pembangunan infrastruktur yang seharusnya dapat bertambah lebih banyak dan lebih baik menjadi tertunda dan tertinggal dari kampung yang lebih kooperatif. Selain itu, berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan (Nur Asriani, 2013) yang berjudul “ImplementasiKebijakan Program Gerakan Serentak Membangun Kampung/Kelurahan(GSMK) di Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang” menjelaskan tentang bahwa selama tahapan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi ditemukan bahwa pada sebagian kampung yang mayoritasnya adalah pendudukan asli masyarakatnya kurang dilibatkan dalam perencanaan kegiatan sehingga pada tahap pelaksanaannya tidak sesuai dengan apa yang diinginkan masyarakat. Namun lain halnya pada kampung yang mayoritas penduduknya adalah pendatang, mereka sangat antusias dalam menjalankan program GSMK tersebut.Serta dalam hal pengawasan yang kurang oleh pemerintah terhadap implementasi program GSMK/ mengakibatkan hasil tidak sesuai dengan apa yang diharapkan Pemerintah. Selain itu, penelitian mengenai implementasi program GSMK juga dilakukan oleh Hendra Saputra yang berjudul “Keefektifan Program Gerakan Serentak Membangun Kampung (GSMK) Dalam Memberdayakan Masyarakat Pedesaan Di Kecamatan Rawa Pitu Kabupaten Tulang Bawang”. Penelitian ini menjelaskan bahwa: 1)efektivitas program GSMK dalam memberdayakan masyarakat pedesaan di Kecamatan Rawa Pitu Kabupaten Tulang Bawang sudah baik, karena tujuan khusus program GSMK sudah tercapai dan selain itu Program GSMK juga mampu menimbulkan rasa kepuasan dan kebanggaan terhadap hasil yang telah mereka lakukan, dan 2) terdapat hubungan yang positif antara pengetahuan masyarakat tentang Program GSMK, sikap setuju masyarakat terhadap Program GSMK, dan peranan Pokmas dalam Program GSMK dengan efektivitas Program GSMK di Kecamatan Rawa Pitu Kabupaten Tulang Bawang dengan taraf kepercayaan 95%. Semakin tinggi ketiga faktor di atas maka semakin tinggi efektivitas Program GSMK. Penelitian pertama dapat menjadi evaluasi bagi implementasi program dan atau kebijakan selanjutnya. Pengaruh suku dan budaya memang sering kali tidak disadari oleh pelaku dan bahkan pengamat kebijakan akan berpengaruh bagi tingkat keberhasilan implementasi program. Namun, benar adanya bahwa watak mayoritas setiap suku adalah berbeda. Bukan hal yang memalukan jika satu suku dinilai lebih berhasil daripada suku lainnya dalam implementasi satu program atau kebijakan. Hal ini membuktikan bahwa bisa saja dengan tabiat dan watak suku yang berbeda akan ditemukan inovasi untuk menggunakan cara yang berbeda. Kenyataan ini bukan sebuah ketidakmungkinan, bahkan harus semakin dikaji supaya tujuan implementasi sebuah program benar-benar tersampaikan dan dirasakan bahkan bermanfaat jangka panjang bagi objek kebijakan. Sementara itu, penelitian kedua yang mengatakan bahwa hubungan yang positif antara pengetahuan masyarakat tentang Program GSMK, sikap setuju masyarakat terhadap Program GSMK, dan peranan Pokmas dalam Program GSMK dengan efektivitas Program GSMK merupakan sebuah wujud dari implementasi yang berhasil. Berdasarkan kedua penelitian tersebut, besar kemungkinan menjadi sebuah sebab akibat yang bersinggungan. Pengaruh persatuan suku dan budaya mampu menciptakan kekuatan dan semangat pembangunan yang besar sehingga tercipta tiga faktor yang saling berhubungan mewujudkan efektivitas program. Sebaliknya, lemahnya persatuan suku dan pengamalan budaya akan membuat sikap acuh dan semangat yang kurang dalam melakukan pembangunan yang bahkan ditujukan untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Secara keseluruhan, Tim Pembina dan Koordinasi Kabupaten yang dalam hal ini merupakan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung menilai bahwa program GSMK telah 80% berhasil membangun infrastruktur kampung se-Kabupaten Tulang Bawang sampai dengan pembangunan tahap III tahun 2016. Hal ini dapat dilihat dari data hasil olah DPMK yang menunjukkan bahwa telah terbangun 12 balai kampung, pembukaan 1 jalan baru (1.400m), 94 drainase (44.559m), 2 gedung PAUD, 1 gedung POSYANDU, 521 gorong-gorong (12.759m), 303 onderlagh (296.717m), 70 jalan rata beton (47.150m), 128 jembatan (1.045m), 6 jalan lapen (2.945m), 1 podium olahraga, 12 rehab balai kampung, 78 talud (6.103m), 6 tiang jeramba beton (2.223m), 60 timbunan tanah merah (67.108m), dan 3 paving block (2.710m). Hasil yang memuaskan dalam masa pembangunan lima tahun dari 147 Kampung di seluruh Kabupaten Tulang Bawang. Tentu saja ada banyak faktor pendukung keberhasilan ini, dan faktor pendukung terbesar tentu saja ada pada masyarakat kampung itu sendiri. A. Kinerja Implementasi Program GSMK Kinerja implementasi program GSMK dappat dilihat dengan bantuan teori-teori implementasi model bottom-up sehingga akan tergambar dan ditarik kesimpulan mengena kinerja implementasi program GSMK. Pemilihan teori implementasi bottom-up untuk membantu melihat kinerja implementasi program GSMK adalah karena program GSMK ini merupakan program yang ditujukan untuk rakyat. Perencanaan sampai dengan pengawasan dan evaluasi diserahkan kepada masyarakat degan tetap didampingi oleh pemerintah beserta tim khusus yang telah dibentuk. Berikut ini adalah beberapa pakar yang fokus pada implementasi model bottom-up: Implementasi program GSMK memang menuntut penentuan lokasi pembangunan berdasarkan kesepakatan atas dasar Musrenbang Kampung. Bukan hal yang mudah tentu saja menyerahkan implementasi pembangunan infrastruktur kepada masyarakat yang sebagian besar pasti tidak memiliki kehalian khusus dibidang pembangunan infrastruktur. Namun keberhasilan implementasi program GSMK menunjukkan pula keberhasilan komunikasi yang telah dijalin antar aktor dari berbagai level birokrasi. Resiko yang diambil pemerintah memang cukup besar, namun kemampuan Pokmas dan Pemerintah Kampung perlu mendapat apresiasi. Tanpa adanya kemampuan komunikasi dan membersamai serta menyingkirkan ego hierarki, maka pembangunan infrastruktur program GSMK tidak akan berhasil. Tidak ada aktor yang kultuskan dalam implementasi program ini, namun tidak benar jika tidak ada koordinator yang mengkoordinatori berjalannya program GSMK ini. Pokmas adalah kelompok orang yang mumpuni untuk mewakili masyarakat dan dipilih secara musyarawah. Semua pihak dalam implementasi program GSMK memiliki satu tujuan yang sama, yaitu terbangunnya infrastruktur yang memadai bagi kampung, dibangun oleh dan untuk masyarakat kampung. Program GSM diprakarsai dan dirancang sendiri oleh Bupati Tulang Bawang sejak semasa kampanye pencalonan dirinya tahun 2013 silam. Setelah menjadi Bupati Tulang Bawang,, program GSMK kemudian menjadi program unggulan dan sudah mulai diimplementasikan tahun 2013. Gagasan cemerlang dan inovatif diambil dengan mengambil budaya masyarakat sebagai dasar implementasi program GSMK. Dalam pedoman pelaksanaan program GSMK, dengan jelas dijelaskan bahwa program GSMK diperuntukkan kepada masyarakat, direncanakan dan dilaksanakan oleh masyarakat itu sendiri. Demi untuk menghindari kerumitan birokrasi, apalagi bagi masyarakat, tim khusus yang dibuat untuk mengawasi dan bertanggungjawab pun tersistem dengan sederhana baik di tingkat kabupaten atau di tingkat kecamatan, yaitu dengan hanya membentuk satu Tim Pembina dan Koordinasi di tingkat Kabupaten dan satu tim di tingkat Kecamatan. Kemudian untuk mengkoordinatori pelaksanana pembangunna infrastruktur, setiap Kampung diharuskan membuat Pokmas yang dipilih berdasarkan muasyawarah kampung itu sendiri. Kinerja implementasi program GSMK disimpulkan berhasil karena pengaruh yang kuat dari masyarakat itu sendiri. Kinerja implementasi program GSMK dinilai bagus seiring dengen keberhasilan implementasi program itu sendiri. Kondisi sosial budaya dan lingkungan masyarakat mampu menjadi penguat kebersamaan dan kejujuran pengelolaan pelaksanaan program GSMK yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang. Formulasi kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang, Bupati khususnya sebagai penggasan program, telah mampu melihat dan mendayagunakan setiap potensi yang ada di masyarakat. Potensi budaya yang tumbuh dengan baik misalnya, yang menjadi kekuatan dalam program GSMK ini, selain tentu saja diperlukan kemampuan kepemimpinan dan penyampaian tujuan program yang komunikatif dari Pemerintah Kabupaten, Kecamatan dan tentu saja Pemerintah Kampung sebagai penggerak utama yang menyentuh level kunci bagi program GSMK. B. Konsep Budaya Lokal dalam Program GSMK Kabupaten Tulang Bawang terbentuk padan 20 Maret 1997. Namun pada tahun 2008 Kabupaten Tulang Bawang dimekarkan menjadi tiga wilayah otonom baru (DOB) yaitu Kabupaten Tulang Bawang, Kabupaten Tulang Bawang Barat, dan Kabupaten Mesuji. Penduduk asli Kabupaten Tulang Bawang yaitu bersuku Lampung Pepadun dengan marga yang dikenal dengan sebutan Megou Pak Tulang Bawang (Empat Marga Tulang Bawang). Selain itu, logat yang dipakai dalam bahasa sehari-hari masyarakat asli Tulang Bawang yaitu logat menggala dengan dialek “O”. Karekteristik penduduk pribumi Lampung Tulang Bawang, diantaranya hidup berkelompok hingga membentuk kampung dengan pola menetap, sebagian berada di pinggir-pinggir dan bantaran sungai dengan pola menetap dan ada pula yang tidak menetap. Tidak menetap dimaksud, antara lain tempat tinggal mereka hanya ditempati pada saat-saat tertentu, seperti pada musim bercocok tanam maupun mencari ikan. Prinsip dasar orang lampung dalam kehidupan sehari-hari menunjukan suatu corak keaslian yang khas penduduk asli Lampung. Khususnya pada masyarakat menggala yang disusun sebagai berikut : 1 Pi'il pesenggiri yang berarti segala sesuatu yang menyangkut harga diri prilaku dan sikap yang dapat menjaga, menegakkan nama baik martabat secara pribadi maupun secara kelompok yang senantiasa dipertahankan. 2 Sakai sambayan, meliputi pengertian yang luas, seperti gotong royong, tolong menolong, toleransi terhadap 26esame maupun terhadap orang lain baik secara moril maupun materil pada waktu senang maupun kesusahan. 3 Nemui nyimah yang berarti menghormati dan bermurah hati kepada tamu. 4 Nengah nyapur adalah sebagai tata kehidupan masyarakat Lampung khususnya menggala dalam pergaulan dan bermasyarakat, ikut berpartisipasi terhadap kegiatan yang bersifat membangun. 5 Bejuluk beadek adalah sebuah nama panggilan diwaktu kecil yang tentunya berdasarkan titei gematei (peraturan atau cara-cara yang sesuai dengan hukum adat orang Lampung) yang diwariskan secara turun temurun dari zaman dahulu. Namun kini penduduk Kabupaten Tulang Bawang didominasi warga pendatang transmigran dari daerah Jawa, Sunda dan Bali, dengan mata pencarian utama yaitu berkebun karet, sawit dan bertani. Karena didominasi oleh pendatang bersuku Jawa, Sunda dan Bali, maka mayoritas agama yang dianut ialah Islam dan Hindu. Namun suku yang amat dominan ialah suku Jawa, sehingga bahasa Jawa sangat umum digunakan oleh penduduk sebagai bahasa sehari-hari. Akan tetapi dengan beragamnya suku yang tinggal di Kabupaten Tulang Bawang tidak melunturkan kebersamaan warganya dalam membangun daerahnya, sesuai dengan semboyan yang dimiliki Kabupaten Tulang Bawang yaitu ”Sai Bumi Nengah Nyappur”. Kondisi budaya di Kabupaten Tulang Bawang yang sudah beragam bukan berarti meminggirkan satu budaya dan kemudian memajukan satu budaya lainnya. Setiap suku, pasti memiliki budayanya masing maisng yang diakui dan dijunjung tinggi penerapannya dalam implementasi kehidupan, meskipun dalam lingkungan yang beragam suku. Budaya telah mengatur pola kehidupan yang baik bagi anggota sukunya, bersama sesama sukuny atau dengan masyarakat umum. Budaya setiap suku tidaklah selalu berbeda, budaya gotong royong misalnya. Gotong royong yang berasal dari bahasa jawa dan sudah dibakukan dalam kaidah bahasa Indonesia yang dibenarkan EYD, tidak hanya dimiliki oleh masyarakat bersuku jawa saja. Masyarakat suku Lampung misalnya, mengenal budaya gotong royong dengan nama sakai sambayan. Hal terjadi pada suku Bali yang juga mengenal budaya gotong royong dalam tatanan kehidupan bermasyarakatnya. Kondisi keberagaman budaya yang ada di Tulang Bawang ini bukan secara kebetulan dijadikan pondasi oleh Bupati Tulang Bawang dalam menentukan penerapan program GSMK. Implementasi program GSMK berbasis budaya mampu diterapkan sampai mencapai keberhasilan karena kondusifitas kehidupan lintas agama dan lintas budaya yang terlihat di Tulang Bawang. Jika dipahami lebih jauh, sebenarnya isu SARA merupakan konteks yang rawan. Rawan akan perpecahan, kesalahpahaman, namun juga mampu menjadi kekuatan besar jika dipersatukan.dalam hal ini, pemerintah Kabupaten Tulang Bawang telah didukung oleh kondisifitas budaya masyarakatnya. Budaya yang dipilih pun sudah tepat, budaya gotong royong atau dalam bahasa lampung disebut sakai sambayan yang menjadi jati diri setiap suku yang bertempat tinggal dan berkembang di Tulang Bawang. PENTINGNYA PENDEKATAN BUDAYA DALAM IMPLEMENTASI PROGRAM GSMK Program GSMK dimaksudkan untuk mendorong adanya pembangunan program pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat dengan memanfaatkan potensi dan pranata sosial khas yang ada di masyarakat.Gotong royong, menjadi pranata sosial khas yang dipilih untuk menjiwai program GSMK ini, potensi yang memang patut diberdayakan menjadi sebuah kekuatan besar untuk mewujudkan terbangunnya kampung yang mandiri atas dasar swadaya dan lestari karena rasa memiliki.Ada hal yang perlu dipelajari dari keberhasilan program GSMK ini, yaitu pentingnya menjunjung tinggi nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat disuatu kampung. Memberangkatkan tujuan pembangunan dengan memacu tumbuhnya nilai-nilai kehidupan bermasyarakat yang telah menjadi budaya hidup masyarakat itu sendiri akan mampu menjadikan keberhasilan bagi implementasi sebuah program. Penggunaan budaya untuk implementasi sebuah kebijakan tentu saja tidak dapat disamakan antara daerah satu dengan daerah lainnya, tidak juga untuk semua kebijakan. Masing-masing daerah memiliki ciri khas dan budayanya masing-maisng, sehingga pemanfaatan budaya dapat digunakan sebagai media pemberdayaan sekaligus implementasi kebijakan yang pas, sesuai dengan pranata sosial sasaran kebijakan, serta dapat diterima dengan mudah oleh sasaran kebijakan. Sama hal nya dengan kebijakan yang berbeda-beda, tidak dapat memaksakan sebuah budaya yang sama untuk semua jenis kebijakan. Meskipun boleh jadi tujuan dari kebijakan-kebijakan tersebut bermaksud untuk pemberdayaan, namun tidak semua tujuan kebijakan dapat dicapai dengan menggunakan pendekatan budaya yang sama. Penggunaan pendekatan budaya untuk implementasi kebijakan tidak semudah yang terlihat.Diperlukan pemahaman kondisi sosial dan budaya masyarakat yang baik, hal ini karena homogenitas dapat menjadi sebuah kekuatan namun juga dapat menjadi sebuah ancaman besar bagi keberhasilan implementasi kebijakan itu sendiri. Pentingnya pendekatan budaya dalam implementasi kebijakan adalah untuk mewujudkan demokrasi yang sesungguhnya. Mendasarkan setiap kebijakan kepada kebutuhan sesungguhnya yang dibutuhkan masyarakat, meningkatkan peran aktif masyarakat dalam mewujudkan implementasi kebijakan, menjaga nilai dan budaya masyarakat dalam setiap aspek kehidupan, serta meminggirkan stigma implementasi kebijakan oleh pemerintah melalui pendekatan struktural, prosedural dan bahkan politis yang justru tidak dimengerti oleh masyarakat umum sehingga penerimaan dan kebermanfaatannya pun sangat rendah. Pendekatan jenis-jenis tersebut selalu dipandang sebagai kebutuhan penguasa saja, hal ini karena pendekatan-pendekatan tersebut berasal dari sudut pandang pemerintah beserta para pemilik kepentingan.Bukan berasal dari sudut pandang masyarakat, sehingga kebutuhan masyarakat seringkali tidak terpenuhi akibat salah sasaran. Pendekatan budaya dalam implementasi kebijakan mulai diterapkan oleh banyak pemerintah daerah atau instansi di Indonesia.Belajar dari keberhasilan beberapa daerah yang lebih dulu menerapkan dan berhasil mengimplementasi kebijakan menggunakan pendekatan budaya, saat ini sudah mulai banyak yang mengadopsi pendekatan budaya kedalam implementasi kebijakan. Pendekatan budaya dianggap sebagai sebuah inovasi terbaru dalam ranah implementasi kebijakan. Masyarakat sebagai target sasaran dari dibuatnya kebijakan itu sendiri mulai dilibatkan juga sebagai pembuat rencana, pelaku pengawasan, implementator, dan bahkan juga evaluator. Lebih dari itu, dari implementasi kebijakan berbasis budaya, ada kebanggan diri dan masyarakat akan budaya yang menjadi ciri khas suku dan atau lingkungannya. Kemampuan manajemen dalam skala besar untuk ukuran sebuah kebijakan publik tentu saja tidak dimiliki oleh masyarakat. Namun, manajemen kebijakan publik dalam skala besar tersebut dapat disederhanakan sesuai dengan kemampuan pemahaman masyarakat target sehingga dapat diterima dan dipahami dengan baik. Dampaknya adalah, secara sadar atau tidak, masyarakat telah belajar cara memajukan diri beserta lingkungannya sendiri, melalui swadaya, kerjasama, dan kesatuan lingkungan dan budayanya. Pendekatan budaya lebih mengarah kepada memunculkan nilai-nilai budaya yang sebenarnya sudah ada di diri dan lingkungan masyarakat. Menggunakan pendekatan budaya untuk implementasi kebijakan juga akan menumbuhsuburkan jiwa memiliki atas apa yang telah direncanakan dan dibuat oleh diri mereka sendiri. Kesadaran ini pada gilirannya akan menciptakan situasi untuk terus menjaga keadaan atau hal-hal yang mereka rasa menjadi milik mereka sendiri. Kebermanfaatannya akan bertahan lama, sehingga kemudian akan menciptakan dampak kesejahteraan disektor lainnya bagi masyarakat itu sendiri. Misalnya adalah implementasi program GSMK yang menggunakan pendekatan budaya gotong royong, masyarakat telah memiliki rasa saling memiliki atas infrastruktur yang telah mereka bangun. Masyarakat diberi kesempatan untuk menentukan apa yang akan mereka bangun, sehingga saat ini berbagai infrastruktur tersebut telah digunakan sesuai dengan kegunaannya. Dampak dampak dari pembangunan infrastruktur di kampung-kampung se-Kabupaten Tulang Bawang besar kemungkinan akan muncul. Maka sebenarnya dampak jangka panjang dari program GSMK bukan sekedar menumbuhkan keswadayaan masyarakat, tetapi juga memajukan sektor lainnya melalui infrastruktur yang memadai.Inilah alasan program GSMK memfokuskan diri pada pembangunan infrastruktur. Pembangunan sektor lainnya, pembangunan sumber daya manusia misalnya, masih menjadi tugas seluruh pihak di Kabupaten Tulang Bawang. Permasalahan utama telah dibuka, maka estafet pembangunan yang pro aktif dan menyentuh langsung kepada masyarakat harus diteruskan untuk mewujudkan pembangunan diseluruh sektor kehidupan. Berdasarkan hasil penelitian tahun ini, model inovasi implementasi yang berhasil dirancang dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 2. Model inovasi Implementasi Kebijakan Publik Sumber: Penelitian model inovasi implementasi kebijakan melalui pendekatan nilai budaya sakai sambayan dalam program GSMK di Kabupaten Tulang Bawang, 2017. Gambar tersebut menjelaskan bahwa keberhasilan implementasi sebuah program dipengaruhi oleh: 1. Persepsi pemimpin Pengambilan keputusan kebijakan selalu bernuansa politis, walaupun studi kebijakan publik menggunakan prinsip rasionalitas. Pemimpin sebagai pengambil keputusan menjadi kunci apakah kebijakan tersebut diimplementasi atau tidak. Berdasarkan hasil penelitian, keberhasilan implementasi kebijakan melalui pendekatan budaya, melihat bahwa proses formulasi dan pendekatan implementasinya dirancang sesuai arah pemikiran pemimpin terhadap lingkungan budaya sekitarnya. Dalam perspekstif budaya lampung, biasanya seorang pemimpin juga memiliki kedudukan yang tinggi di masyarakat. Hal demikian disebabkan oleh adat istiadat yang masih lestari sampai hari ini. kebudayaan masyarakat lampung menempatkan orang-orang yang dapat dikatakan sebagai bangsawan adat pada posisi yang tinggi. Sehingga perspsi pemimpin menjadi bersifat absolut sehingga berdampak pada pengambilan keputusan atas dasar persepsi pemimpin itu sendiri. Strata sosial seorang pemimpin dalam masyarakat berimplikasi pada pengambilan keputusan dan pengimplementasian sebuah kebijakan. Lazimnya pada masa kerajaan lalu rakyat akan melaksanakan segala perintah dari sang raja tanpa terkecuali. Kekuasaan sang raja bersifat absolut dan sebuah kebijakan dilaksanakan atau tidak kembali lagi pada titah sang raja. Penulis katakan prinsip rasio tidak lagi menjadi penting apabila telah masuk unsur-unsur budaya lokal seperti yang dijelaskan di atas. Keberhasilan implementasi sebuah kebijakan melalui pendekatan budaya memang unik, mengapa penulis mengatakan unik? Unik karena ada semacam diskresi atau lebih tepatnya mungkin Fries Ermesson yang dilakukan oleh para pengambil keputusan. Secara empirik tentu ini tidak dapat dibenarkan atas dasar bahwa setiap kebijakan publik harus berdasarkan pada permasalahan dan realitas yang terjadi, bukan atas dasar pemikiran tunggal dari seorang pemimpin. Ada beberapa faktor yang memengaruhi persepsi pemimpin. Pertama pelaku persepsi, penafsiran tunggal seorang pemimpin pada suatu objek akan dipengaruhi oleh karakteristik pribadinya sendiri yang disalamnya meliputi sikap, motif, kepentingan atau minat, pengalamaman masa lalu dan harapan. Kedua target, apa yang ingin dicapai oleh pemimpin bukan apa yang ingin dicapai bersama. Ketiga situasi, kemungkinan seorang pemimpin berada pada kondisi tidak baik atau dalam tekanan akan berpengaruh kepada persepsi pemimpin. Dalam lingkungan masayarakat pedesaan atau tradisional pengambil keputusan seperti halnya kepala desa memiliki peran yang cukup vital. Penulis mengamati di lingkungan tempat tinggal penulis bahwa kepala desa memiliki pengaruh yang cenderung besar dalam berjalannya suatu program yang ada di desa mulai dari tahap penyusunan sampai dengan tahap implementasi. Ketika kepala desanya diam dan tidak memberikan instruksi kepada bawahan, maka bawahan akan cenderung diam. Padahal berjalannya suatu program bukan tergantung pada kepala desa melainkan kerjasama seluruh komponen masyarakat. Masyarakat dalam menangapi hal semacam ini beragam, ada yang menggapnya hal yang lazim terjadi, ada yang menggapi sebaliknya. Persepsi pemimpin apabila melihat apa terjadi diatas kemudian menjadi cukup penting karena berkorelasi dengan keberhasilan implementasi sebuah kebijakan. 2. Nilai budaya Nilai budaya adalah pondasi dasar yang digunakan sebagai pedoman pelaksanaan implementasi. Budaya yang mudah dipahami dan bersifat universal dalam pengejawantahannya dengan gambling diadopsi dalam implementasi program. Kebiasaan masyarakat akan budaya tersebut turut menunjang keberhasilan implementasi program. Bisa dibayangkan ketika budaya tersebut tidak dikenal oleh masyarakat setempat, tentu saja tidak bisa diejawantahkan. Nilai budaya atau dapat disebut dengan kearifan lokal yang dalam kamus yaitu kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Suatu nilai-nilai yang ada secara turun-temurun diwariskan dalam konteks kegiatan kehidupan bermasyarakat. Kultur dan budaya masyarakat Indonesia yang sejak zaman dahulu sebelum masuknya agama-agama dunia sudah memiliki nilai budaya yang di junjung tinggi. Nilai budaya ini masih banyak kita jumpai didesa-desa. Karakteristik orang pedesaan cenderung konservatif dalam hal niai budaya. Nilai budaya dalam konteks implementasi kebijakan dapat kita ambil salah satunya yaitu nilai budaya gotong royong yang memang telah ada sejak zaman sebelum indonesia merdeka. Ada sebuah pepatah kuno mengatakan “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Makna filosofis dari pepatah itu adalah melakukan pekerjaan secara bersama-sama. Nilai ini yang sampai hari ini tetap ada di tengah-tengah masyarakat modern. Hemat penulis nilai ini amat tinggi kedudukannya, ketika ada tetangga yang membuat rumah, maka tetangga yang lain akan berdatangan untuk memberikan bantuan apa saja yang mereka bisa bantu. Mereka datang tanpa diminta, mereka datang secara sukarela. Bahkan mereka tidak dengan tangan kosong, melainkan membawa bahan makanan untuk disajikan nantinya. Nilai budaya ini sangat dibutuhkan dalam implementasi kebijakan. Nilai ini memberikan ruh dalam pengimplementasian kebijakan. budaya gotong royong ini dinilai cukup berhasil oleh banyak kalangan, inovasi pendekatan budaya dalam implementasi kebijakan menjadikan salah satu alternatif agar kebijakan bisa berhasil dan tujuan bisa tercapai. 3.Sistem, Strategi, dan Struktur (3S) Ketiga faktor ini adalah perisai bagaimana kemudian hasil persepsi pemimpin akan lingkungannya menjadikan itu adalah nilai budaya. Baik yang terlahir dari persepsi pemimpin itu sendiri atau nilai budaya yang sudah ada di lingkungan masyarakat. Kedua faktor tersebut kemudian melahirkan formulasi terkait sistem program yang akan diimplementasikan, strategi bagaimana nilai budaya tersebut menjadi pedoman arah pelaksanaan dan pembentukan struktur implementor kebijakannya. Penggunaan budaya untuk implementasi sebuah kebijakan tentu saja tidak dapat disamakan antara daerah satu dengan daerah lainnya, tidak juga untuk setiap kebijakan-kebijakan yang lainnya. Masing masing daerah memiliki ciri khas dan budayanya masing-masing, sehingga pemanfaatan budaya dapat digunakan sebagai media pemberdayaan sekaligus implementasi kebijakan yang pas, sesuai dengan pranata sosial sasaran kebijakan, serta dapat diterima dengan mudah oleh sasaran kebijakan. Sama hal nya dengan kebijakan yang berbeda-beda, tidak dapat memaksakan sebuah budaya yang sama untuk semua jenis kebijakan. Meskipun boleh jadi tujuan dari kebijakan-kebijakan tersebut bermaksud untuk pemberdayaan, namun tidak semua tujuan kebijakan dapat dicapai dengan menggunakan pendekatan budaya yang sama. Penggunaan pendekatan budaya untuk implementasi kebijakan tidak semudah yang terlihat. Diperlukan pemahaman kondisi sosial dan budaya masyarakat yang baik, hal ini karena homogenitas dapat menjadi sebuah kekuatan namun juga dapat menjadi sebuah ancaman besar bagi implementasi kebijakan. Pentingnya pendekatan budaya dalam implementasi kebijakan adalah untuk mewujudkan demokrasi yang sesungguhnya. Mendasarkan setiap kebijakan kepada kebutuhan sesungguhnya yang dibutuhkan masyarakat, meningkatkan peran aktif masyarakat dalam mewujudkan implementasi kebijakan, menjaga nilai dan budaya masyarakat dalam setiap aspek kehidupan, serta meminggirkan stigma implementasi kebijakan oleh pemerintah melalui pendekatan struktural, prosedural dan bahkan politis yang justru tidak dimengerti oleh masyarakat umum sehingga penerimaan dan kebermanfaatannya pun sangat rendah. Pendekatan jenis-jenis tersebut selalu dipandang sebagai kebutuhan penguasa saja, hal ini karena pendekatan-pendekatan tersebut berasal dari sudut pandang pemerintah beserta para pemilik kepentingan. Bukan berasal dari sudut pandang masyarakat, sehingga kebutuhan masyarakat seringkali tidak terpenuhi akibat salah sasaran. Pendekatan budaya dalam implementasi kebijakan mulai diterapkan oleh banyak pemerintah daerah atau instansi di Indonesia. Belajar dari keberhasilan beberapa daerah yang lebih dulu menerapkan dan berhasil mengimplementasi kebijakan menggunakan pendekatan budaya, saat ini sudah mulai banyak yang mengadopsi pendekatan budaya kedalam implementasi kebijakan. Pendekatan budaya dianggap sebagai sebuah inovasi terbaru dalam ranah implementasi kebijakan. Masyarakat sebagai target sasaran dari dibuatnya kebijakan itu sendiri mulai dilibatkan juga sebagai pembuat rencana, pelaku pengawasan, implementator, dan bahkan juga evaluator. Kemampuan manajemen dalam skala besar untuk ukuran sebuah kebijakan publik tentu saja tidak dimiliki oleh masyarakat. Namun, manajemen kebijakan publik dalam skala besar tersebut dapat disederhanakan sesuai dengan kemampuan pemahaman masyarakat target sehingga dapat diterima dan dipahami dengan baik. Dampaknya adalah, secara sadar atau tidak, masyarakat telah belajar cara memajukan diri beserta lingkungannya sendiri, melalui swadaya, kerjasama, dan kesatuan lingkungannya. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan. 2010. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Anderson, J.E. 1979. Public Policy Making.New York. Holt, Renihart and Winston. Dunn, William N. 2000, (1981). Public Policy Analysis: An Introduction. New Jersey: Perason Education. Edisi bahasa Indonesia diterjemahkan dari edisi kedua (1994) diterbitkan sejak 1998.Dengan judul pengantar analisis kebijakan publik.Yogyakarta.Gadjah Mada University Press. Ismany, M.I. 2002.Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara.Jakarta. Bumi Aksara. Moleong, L.J. 2000.MetodologiPenelitian Kualitatif. Bandung. Remaja Rosdakarya. Nugroho, Riant. 2008. Public Policy. Jakarta. PT. Elex Media Komputindo. Parsons, Wayne. 2008. Public Policy (Pengantar Teori dan Praktek Analisis Kebijakan). Jakarta. Prenada Media Group. Putra, F. 2003. Paradigma Kritis Dalam Studi Kebijakan Publik . Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Purwanto, Erwan Agus dan Dyah Ratih Sulistyastuti. 2012. Implementasi Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Yogyakarta.Penerbit Gava Media. Subarsono, AG. 2005. Analisis Kebijakan Publik, konsep,teori dan aplikasi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Administrasi. Bandung. PT. Alfabeta. Tarigan, Robinson. 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta. PT. Bumi Aksara. Wahab,S.A. 2000. Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara.Jakarta. Bumi Aksara. Wahab, SA. 2010. Analisis Kebijaksanaan Edisi Kedua dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta. Bumi Aksara. Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta.Media Pressindo.