iThenticate

Document Viewer
Similarity Index
25%

Pemodelan Penyalaan Pada Proses Bubut Kering Ma...

By: Yanuar Burhanuddin

As of: Sep 22, 2020 1:35:51 PM
3,855 words - 61 matches - 25 sources

sources:

paper text:

Pemodelan Penyalaan Pada Proses Bubut Kering Magnesium AZ31 Menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan Yanuar Burhanuddina*, Feni Setiawanb, Suryadiwansa Harunc, Helmi Fitriawand Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Lampung Gedung H FT Lt. 2, Jln.
Prof.Sumantri Brojonegoro No. 1, Bandar Lampung 35145
ayanuar.burhanuddin@eng.unila.ac.id,bfenisetiawan16@gmail.com, csuryadiwansa.harun@eng.unila.ac.id, dhelmi.fitriawan@eng.unila.ac.id Abstrak Magnesium memiliki sifat ringan,
keuletan yang baik serta ketahanan korosi yang baik.
Namun magnesium sangat mudah menyala karena magnesium reaktif terhadap oksigen. Penyalaan magnesium harus dihindarkan ketika sedang melakukan pemesinan magnesium karena membahayakan. Namun penyalaan magnesium masih sulit diprediksi oleh karena itu perlu dibuat sebuah model penyalaan prediktif pada saat pemesinan magnesium. Makalah ini akan menyajikan pemodelan penyalaan magnesium pada proses bubut menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan. Eksperimen dilakukan dengan melakukan pemesinan batang magnesium AZ31 pada kecepatan potong 100 – 220 m/menit, laju pemakanan 0,05 – 0,15 mm/putaran, kedalaman potong 0,05 mm dan 0,1 mm bubut dan kelembapan udara 73 %. Pemantauan suhu pemesinan dilakukan menggunakan teknik termografi. Suhu naik seiring dengan kenaikan kecepatan potong pada berbagai laju pemakanan dan kedalaman potong. Penyalaan magnesium terjadi pada kecepatan potong 180 m/min menghasilkan suhu 553,235 oC dan kecepatan potong 200 m/min menghasilkan suhu 620,675 oC. Kedua penyalaan terjadi pada
gerak makan 0,05 mm/ putaran dan kedalaman potong 0, 05 mm.
Pemodelan kemudian dilakukan berdasarkan data suhu yang telah diperoleh. Kata kunci: magnesium AZ31, thermografi, penyalaan, distribusi suhu, histogram, jaringan syaraf tiruan Latar belakang Magnesium adalah logam
yang ringan oleh sebab itu sangat sesuai untuk menggantikan
komponen-komponen atau produk yang relatif berat. Magnesium dan paduannya sekarang semakin dikenal luas karena memainkan peranan penting dalam produk- produk otomotif, elektronik dan kesehatan Pengurangan berat komponen otomotif akan mengurangi berat keseluruhan kendaraan dan dengan demikian kendaraan yang relatif ringan akan dapat menghemat pemakaian bahan bakar (fuel consumption saving). Kemudian penggunaan magnesium pada produk elektronik seperti laptop, kamera juga untuk mengurangi berat produk. Dalam bidang kesehatan, magnesium adalah bahan yang dapat terdegradasi secara alami sehingga dapat dipakai sebagai alat kesehatan prostese. Magnesium memiliki kepadatan dan modulus elastisitas yang dekat dengan tulang [1, 2]. Magnesium sebetulnya pada satu sisi dikenal karena karakteristik pemesinan yang baik sekali dan menguntungkan seperti daya pemotongan relatif
yang rendah, potongan geram yang pendek, keausan pahat yang relatif rendah, kualitas permukaan yang tinggi serta dapat dipotong pada kecepatan pemotongan dan pemakanan yang tinggi. Tabel 1 memperlihatkan perbandingan gaya pemotongan spesifik
magnesium dibandingkan logam lain. Namun di sisi lain
magnesium juga dikenal dengan bahan logam yang mudah terbakar
terutama saat pemesinan pada kedalaman pemotongan kecil sedangkan kecepatan potong dan pemakanan tinggi.
Suhu pemotongan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kecepatan potong dan kecepatan
pemakanan. Tabel 1 Daya pemotongan relatif yang dibutuhkan untuk memotong logam [3] Bahan Rasio gaya pemotongan spesifik
Paduan magnesium 1, 0 Paduan aluminium 1,9 Besi cor 3,5 Baja
Karbon 6,3 Rendah Paduan Titanium 10
Ada dua hal yang diperhatikan dalam pemesinan magnesium yaitu resiko kebakaran dan pembentukan Built-up Edge (BUE).
Dalam pemesinan magnesium, api sangat mungkin terjadi jika geram tipis atau halus dengan perbandingan luas permukaan- terhadap-volume yang tinggi dihasilkan dan dibiarkan menumpuk. Sumber penyalaan mungkin juga pemanasan gesekan disebabkan pahat tumpul, rusak, diasah secara salah atau dibiarkan berhenti sebentar pada akhir pemotongan.
Pembentukan BUE terbentuk ketika pemesinan kering paduan magnesium- aluminium cor dengan pahat Baja Kecepatan Tinggi (HSS) atau Karbida. Pembentukan BUE dapat dikurangi atau dihilangkan dengan pemakaian pendingin minyak mineral atau penggantian dengan pahat intan. Namun pemakaian pendingin minyak mineral akan mencemari lingkungan sedangkan pemakaian pahat intan akan menaikkan biaya produksi
[2,4]
Karena geram magnesium bereaksi dengan air dan membentuk magnesium hidroksida dan gas hidrogen bebas, pendingin berbasis air harus dihindarkan.
Sekarang ini pendingin berbasis air yang menghasilkan sedikit hidrogen ketika bereaksi dengan magnesium telah digunakan dalam produksi. Dilaporkan juga pendingin ini dapat meningkatkan umur pahat dan mengurangi resiko kebakaran dibandingkan pemesinan kering. Namun masalah pembuangan limbah cairan pendingin tetap menjadi masalah. Bila dibuang begitu saja jelas dapat mencemari lingkungan [5]. Sebaliknya bila limbah diolah sebelum dibuang jelas akan memerlukan biaya yang cukup besar.
Alternatifnya adalah pemotongan kering [6] atau menggunakan pendingin minyak mineral. Perhatian harus terus dilakukan terhadap masalah-masalah berkaitan dengan reaktifitas magnesium yang tinggi ketika pemesinan dilakukan pada kondisi kering, karena dapat menyebabkan bahaya.
Oleh karena itu diperlukan model yang dapat memprediksi
penyalaan magnesium sehingga bahaya tersebut bisa diminimalkan. Proses prediksi dan identifikasi penyalaan geram dilakukan dengan menggunakan teknik permodelan berbasis
Jaringan Syaraf Tiruan (JST). JST merupakan suatu teknik penggunaan model-model perlakuan seperti jaringan syaraf manusia untuk membangun sebuah model simulasi sistem. Teknik
JST
dapat mengidentifikasi sistem-sistem kompleks non-linear dengan cara pembelajaran dan pelatihan sehingga dapat memberikan tanggapan yang benar terhadap masukan baru yang diberikan.
Pada bidang manufaktur khususnya pemesinan sudah ada beberapa orang yang menggunakan JST untuk memodelkan hubungan antara parameter pemesinan dengan luaran (misal gaya pemotongan, suhu pemotongan, keausan pahat dan kekasaran permukaan) dan penentuan kondisi optimum [7]. Model statistik karena sangat kompleks dan fenomena pemesinan merupakan fenomena yang tidak linier maka kalau menggunakan regresi hasil yang diperoleh sangat terbatas. Sehingga beberapa tahun terakhir JST telah berhasil diterapkan dalam berbagai bidang untuk tugas klasifikasi dan prediksi yang kompleks. Beberapa topologi JST seperti perceptron lapis-jamak mampu memperkirakan dengan baik fungsi-fungsi kontinyu [7]. Mukherjee and Ray [8] mengatakan walaupun untuk pemodelan regresi statistik dapat bekerja dengan baik, teknik ini tidak dapat memnjelaskan dengan presis hubungan non-linier yang kompleks antara variable dan luaran. Kemudian pada regresi hubungan fungsional seperti linier, kuadratik, polinomial pangkat tinggi, dll) antara input dan output syarat mutlak untuk pemodelan persamaan regresi. Sedangkan JST tidak Manufaktur 25 mutlak. Namun kelemahan JST adalah memerlukan data yang sangat banyak agar pelatihan data berhasil. Oleh karena itu kedua alat analisis ini akan digunakan kedua-duanya agar saling menutupi kelemahan masing- masing. Hasil identifikasi penyalaan geram dapat diaplikasikan pada sistem peringatan (warning system) yang akan memberitahu operator atau manajer. Penelitian ini bertujuan untuk memodelkan suhu pemesinan dan penyalaan geram magnesium AZ31 menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan. Teori
Penyalaan Paduan Magnesium Telah diketahui bahwa penyalaan (ignition) dimulai dengan pembentukan “bunga kol” oksida dan terjadinya api pada permukaan paduan
[9].
Suhu penyalaan magnesium pada tekanan atmosfir agak di bawah titik cairnya yaitu pada 623 oC. Pada tekanan 500 psi, suhu penyalaan mendekati titik cairnya yaitu 650 oC. Titik nyala sejumlah paduan magnesium dengan logam lain telah diselidiki. Suhu penyalaan berkisar dari 500 sampai 600 oC. Semata-mata bersentuhan dengan beberapa logam lain juga mengubah suhu penyalaan magnesium. Bersentuhan dengan nikel, kuningan dan aluminum memperendah suhu penyalaan, sedangkan bersentuhan dengan baja dan perak tidak mempengaruhinya
[10]. Magnesium masif
menunjukkan akan menyala di udara pada suhu yang sama sebagaimana nyala dalam oksigen. Serbuk magnesium di udara menyala pada suhu 620 oC. Penyelidikan lain menunjukkan bahwa kepadatan awan partikel-partikel mempengaruhi suhu penyalaan. Awan partikel-partikel yang kurang padat memerlukan suhu yang lebih tinggi untuk menyala berkisar antara 700 sampai 800 oC jauh di atas titik cair. Suhu nyala awan serbuk dalam oksigen adalah sama sebagaimana udara. Namun kajian impak menunjukkan magnesium sensitif terhadap perubahan beban atau tumbukan massa
[10]. Suhu penyalaan magnesium dan paduan magnesium masif dalam oksigen dengan tekanan 0,166 sampai 10 tekanan atmosfir. Suhu penyalaan didefinisikan sebagai “suhu eksplosi” dimana laju oksidasi tiba-tiba sangat cepat dan api muncul [10]. Penurunan perlakuan teoritik eksperimental suhu penyalaan magnesium dan paduannya menyimpulkan bahwa sampel logam akan menyala jika konduksi panas melewati lapisan tipis oksida tidak cukup untuk menghilangkan panas yang dihasilkan pada antarmuka logam- oksida [10]. Energi termal hilang oleh induksi dari logam dapat dipersamakan dengan energi termal yang diproduksi oleh oksidasi logam. Hubungan ini diekspresikan oleh persamaan [10]: Dimana x adalah konduktifitas termal, v adalah laju oksidasi, T adalah suhu pada antarmuka logam-oksida, To adalah suhu permukaan luar lapisan tipis, d adalah ketebalan lapisan oksida, ∆H adalah panas pembentukan dan N adalah bilangan Avogadro. Cs adalah bilangan adsorpsi pada logam per cm2, k adalah konstanta Boltzmann, h adalah konstanta Planck, T adalah suhu (K), E adalah energi aktifasi. Metode Penelitian Pengukuran Suhu Pemesinan dan Penyalaan Geram Pemesinan batang magnesium berdiameter 50 mm dilakukan pada mesin bubut Pinachio. Pemesinan dilakukan dengan satu kali pengulangan. Kondisi pemotongan yang dipilih sebagai berikut: - Kecepatan potong 100-220 m/min - Kedalaman potong 0,05 dan 0,1 mm -
Gerak makan 0, 05 mm/rev, 0, 1 mm/rev dan 0, 15 mm/rev Pengukuran
suhu pemesinan dan penyalaan geram dilakukan dengan merekam proses pemesinan dengan menggunakan kamera berinframerah atau yang dikenal dengan Teknik Termografi Inframerah.
Suatu kamera inframerah mendeteksi besar radiasi inframerah yang dipancarkan dari sebuah objek, dan mengkonversikan suhu tersebut ke dalam citra panas video yang disebut dengan termogram
Setelah itu data rekaman tersebut dikonversi dalam bentuk gambar jpg dan diolah dengan menggunakan aplikasi konversi dan menampilkan distribusi suhu pada pahat maupun geram pada komputer. Jaringan Syaraf Tiruan (Neural Networks) Setelah data suhu pemesinan diperoleh maka dilakukan analisis dan prediksi suhu pemesinan menggunakan aplikasi JST dengan metoda Back Propagation Neural Network (BPNN) dengan dua lapisan tersembunyi. Lapisan pertama mempunyai 10 neuron sedangkan lapisan kedua memiliki 5 neuron. Analisis JST dilakukan pada aplikasi dengan dua hidden layer. Fungsi aktifasi JST yang digunakan pada masing-masing hidden layer adalah tansig dan logsig, sedangkan pada output menggunakan purelin Hasil dan Pembahasan Hasil yang didapatkan pada berbagai kondisi, menghasilkan suhu yang beragam. Berikut akan diberikan data hasil pengukuran suhu pemesinan dengan pengukuran secara tidak langsung pada kedalaman potong 0,5 dan 0,1 mm pada tabel 2 dan 3. Tabel 2.
Data hasil pengukuran suhu pemesinan dengan keadaan kedalaman potong 0,05 mm.
Kecepatan Potong Vc (m/min) Gerak Makan f(mm/rev) Kedalaman Potong d (mm)
Suhu T ( oC) Nyala (Y/T) 120 0,05 0,1 0,15 0,05 163,627 164,929 177,735 T T T 140 0,05 0,1 0,15 0,05 173,485 180,631 198,595 T T T 160 0,05 0,1 0,15 0,05 181,108 190,779 203,595 T T T 180 0,05 0,05 553,235 Y 0,1 215,045 T 0,15 207,558 T 200 0,05 0,1 0,05 620,675 234,215 Y T 220 0,05 0,05 214,732 T Tabel 3
Data hasil pengukuran suhu pemesinan dengan keadaan kedalaman potong 0,1 mm.
Kecepatan Potong Vc (m/min) Gerak Makan f (mm/rev) Kedalaman Potong d (mm)
Suhu T ( oC) Nyala (Y/T) 120 0,05 0,1 0,15 0,1 253,33 216,812 223,622 T T T 140 0,05 0,1 0,15 0,1 254,792 220,027 194,885 T T T 160 0,05 0,1 0,15 0,1 269,418 228,071 213,221 T T T 180 0,05 0,1 0,15 0,1 292,291 263,125 257,671 T T T Analisis Suhu Penyalaan Geram Tabel 2 memperlihatkan bahwa pemesinan pada kedalaman potong 0,05 terjadi dua kali penyalaan geram. Penyalaan geram pertama terjadi pada kondisi pemotongan
180 m/min dan gerak makan 0,05 mm/ rev dengan suhu
553,235 oC. Penyalaan geram kedua terjadi pada kondisi pemotongan
200 m/min dan gerak makan 0,05 mm/ rev dengan suhu
620,675 oC. Pada kedalaman potong 0,05 mm suhu yang didapatkan bervariasi pada tiap gerak makan yang digunakan. Suhu yang terendah adalah
pada kecepatan potong 120 m/min dengan gerak makan 0, 1 mm/rev yaitu
163,627 oC. Suhu tertinggi dari
kedalaman potong 0,05 mm adalah pada kecepatan potong 200 m/min dengan gerak makan 0,05 mm/ rev, didapatkan suhu penyalaan senilai 620,675
oC karena pada kecepatan potong inilah terjadi penyalaan. Gambar 1 menunjukkan
grafik hubungan antara kecepatan potong terhadap nilai suhu pemesinan pada kedalaman potong 0,05 mm.
Grafik menunjukkan bahwa suhu meningkat sebanding terhadap kecepatan potong.
Pada gerak makan 0,05 mm/rev dengan kecepatan 120 m/min
hingga 160 m/min terjadi peningkatan suhu namun tidak signifikan. Gambar 1. Grafik hubungan antara kecepatan potong terhadap nilai suhu pemesinan
pada kedalaman potong 0,05 mm Berbeda pada kecepatan potong 160 m/min
hingga 200 m/min terjadi peningkatan suhu sangat signifikan. Dari data yang didapatkan terhadap kecepatan potong 180 m/min dan
kecepatan potong 200 m/min pada gerak makan 0,05 mm/ rev menimbulkan nyala, dengan menghasilkan suhu
nyala masing- masing yaitu 553,235 oC dan 620,675 oC. Penyalaan yang terjadi pada kedua parameter pemotongan mempengaruhi peningkatan suhu yang cukup signifikan. Gambar 2 dan 3 menunjukkan distribusi suhu ketika nyala dan histogram citra ketika nyala pada kecepatan 180 m/min dan 200 m/min. Gambar 2 Distribusi suhu saat geram nyala di
kecepatan potong 180 m/min, gerak makan 0, 05 mm/rev dan kedalaman potong 0, 05 mm
Gambar 4 Distribusi suhu saat geram nyala
pada kecepatan potong 200 m/min, gerak makan 0, 05 mm/rev dan kedalaman potong 0, 05 mm.
Tabel 3 menunjukkan penyalaan geram tidak terjadi pada proses pemesinan dengan ketebalan geram 0,1 mm. Pada kedalaman potong 0,1 mm di setiap kecepatan potong suhu yang dihasilkan hampir berdekatan. Dengan kedalaman potong 0,1 mm nilai suhu tertinggi
pada kecepatan potong 180 m/min dengan gerak makan 0, 05 mm/rev yaitu
292,291 oC. Nilai suhu terendah
kedalaman potong 0, 1 mm terdapat pada kecepatan potong 140 m/min dengan gerak makan 0, 15 mm/ rev dengan suhu
pemesinan 194,886 oC. Gambar 4 Grafik hubungan antara kecepatan menjadi 553,235 oC dan 620,675 oC, dimana potong terhadap nilai suhu pemesinan pada pada suhu ini terjadi penyalaan geram. kedalaman potong 0,1 mm Kondisi berbeda ditunjukkan pada parameter kecepatan potong 220 m/min dan Gambar 4 menunjukkan hubungan antara
gerak makan 0, 05 mm/rev. Adanya penurunan kecepatan potong terhadap nilai suhu
drastis hingga mencapai suhu senilai 214,732 pemesinan pada kedalaman potong 0,1 mm. oC. Hal ini disebabkan bahwa pada kondisi Terdapat variasi suhu pada gerak makan 0,05 parameter tersebut tidak terjadi penyalaan,
mm/rev; 0, 1 mm/rev dan 0, 15 mm/rev. Pada
sehingga nilai suhu menjadi rendah namun
gerak makan 0, 05 mm/rev, terjadi
dilihat dari paremeter sebelumnya yang tidak peningkatan suhu dari nilai suhu 253,33 oC terjadi penyalaan yaitu pada kecepatan potong (pada kecepatan potong 120 m/min) menjadi 160 m/min terhadap kecepatan potong 180 292,291 oC (kecepatan potong 180 m/min). m/min tetap terlihat adanya peningkatan suhu.
Pada gerak makan 0,1 mm/rev
kenaikan suhu Hubungan antara
gerak makan 0,1 mm/rev juga sebanding dengan kecepatan potong dengan nilai suhu
bila dilihat dari gambar sebagaimana dengan gerak makan 0,05 2terjadi kenaikan yang relatif stabil, apabila mm/rev. Suhu pemesinan 216,812 oC pada ditarik kesimpulan mengenai hubungan antara kecepatan potong 120 m/min dan suhu kecepatan potong dengan nilai suhu yang pemesinan sebesar 263,125 oC pada terjadi
pada gerak makan 0,1 mm/rev bahwa kecepatan 180 m/min.
dari kecepatan potong rendah 120 m/min
Pada gerak makan 0,15 mm/rev berbeda hingga kecepatan potong 200 m/min
relatif dengan dua gerak makan lain. Pada kecepatan meningkat. Begitu pula pada gerak makan potong 120-140 m/min suhu menurun setelah 0,15 mm/rev terjadi peningkatan suhu yang itu meningkat seiring kecepatan potong tidak begitu drastis pada kecepatan potong hingga 180 m/min. Pada kecepatan potong 120 m/min hingga 180 m/min Hasil ini sama 120 m/min menghasilkan suhu 223,622 oC dengan yang diutarakan oleh Shaw yang namun pada kondisi kecepatan potong 140 menerangkan bahwa suhu pemotongan akan m/min menghasilkan suhu 194,885 oC. Hal ini meningkat seiring dengan kenaikan kecepatan terjadi karena pada kecepatan potong 140 potong [11] m/min geram hasil pemotongan terbuang ke bawah sehingga pendinginan lebih cepat dan menghasilkan suhunya lebih rendah. Distribusi suhu pada titik penyalaan Grafik histogram menunjukkan kawasan Pembahasan terang (150-200) terdapat garis pada nilai tersebut. Hal ini memilki hubungan yang erat Terlihat dari nilai suhu yang antara grafik histogram dengan warna pada dikelompokkan terhadap gerak makan pada gambar termografi. Bahwa grafik histogram kedalaman potong 0,05 mm bahwa suhu akan merepresentasikan intensitas warna pada pemesinan pada gerak makan 0,05 mm/rev area terang apabila terjadi penyalaan. cenderung naik dari kecepatan potong 120 Gambar 2 dan 3 yang ditampilkan pada m/min sampai dengan 180 m/min. Contoh aplikasi thermografi terlihat jelas yang bisa diambil dengan gerak makan 0,05 menunjukkan distribusi suhu yang terjadi, mm/rev untuk kecepatan potong 120 m/min yaitu sepanjang pahat dan hampir seluruhnya didapatkan suhu pemesinan 163,627 oC, terbawa oleh geram yang dihasilkan. kecepatan potong 140 m/min didapatkan Histogram sebagai media pengamatan akan suhu penyalaan geram 173,485 oC, kecepatan memberikan nilai pada area terang apabila potong 160 m/min didapatkan suhu terjadi penyalaan. Penyalaan terjadi pada pemesinan 181,108 oC. Pada kecepatan
kecepatan potong 180 m/min dan kecepatan potong 180 m/min dan
200 m/min terjadi potong 200 m/min pada kedalaman potong peningkatan suhu pemesinan masing–masing dan
gerak makan yang sama, yaitu 0,05 mm/rev
dan 0,05 mm. Gambar 2
pada kecepatan potong 180 m/min, gerak makan 0, 05 mm/rev dan kedalaman makan 0, 05 mm menunjukkan penumpukan geram dan apabila geram yang
berbentuk halus terus menerus mengalami gesekan terhadap mata pahat dan benda kerja, maka kondisi tersebut akan memungkinkan terjadinya penyalaan geram. Hal yang sama terjadi pada gambar 3
pada kecepatan potong 200 m/min, gerak makan 0, 05 mm/rev dan kedalaman makan 0, 05 mm
terjadi penyalaan dengan menghasilkan suhu yang tinggi. Apabila dilihat dengan seksama nyala pada
kecepatan potong 180 m/min berbeda dengan kecepatan potong 200 m/min. Nyala pada kecepatan potong 180 m/min
dihasilkan oleh penumpukkan geram, namun pada kecepatan potong 200 m/min dihasilkan oleh gesekan antara geram hasil pemotongan dengan mata pahat pada bagian sudut geram. Analisis Suhu Pemesinan Menggunakan Jaringan Saraf Tiruan Analisis suhu pemesinan dilakukan dengan tujuan untuk membuat model prediktif suhu pemesinan. Berdasarkan data yang diperoleh dilakulan analisis JST pada kondisi sebagai berikut: Epoch = 5000. MSE = 0,01. Learning rate = 0,5. Pada epoch ke 118 iterasi sudah berhenti karena target MSE sudah tercapai seperti terlihat pada gambar 9. Setelah iterasi berhenti dapat dilihat hasil regresi linier antara model prediktif dengan simulasi yang dilakukan. Hasil simulasi menunjukkan model prediktif suhu pemesinan sangat baik dengan terlihatnya kesesuaian antara output dan target mempunyai koefisien relasi 0,99488 seperti terlihat pada gambar 10. Dengan kondisi demikian maka model prediktif suhu pemesinan yang dibangun dengan JST dapat diterima. Hal ini juga diperkuat dari hasil plot simulasi pada gambar 11. Model persamaan prediktif suhu pemesinan dibangun dari nilai bobot (weight) dan bias yang dihasilkan (lihat Lampiran). Gambar 9 Iterasi epoch sudah mencapai target Gambar 10 Plot simulasi model persamaan prediktif suhu pemesinan Gambar 11 Plot simulasi model persamaan antara target dan output Kesimpulan Berdasarkan eksperimen dan analisis penelitian ini menyimpulkan: 1. Suhu pemesinan magnesium semakin meningkat seiring dengan bertambah kecepatan potong. 2. Suhu pemesinan lebih tinggi pada kedalaman potong 0,05 mm dibandingkan pada kedalaman 0,1 mm. 3. Geram magnesium menyala pada pemesinan dengan
gerak makan 0,05 mm/rev dan kedalaman potong 0, 05 mm.
Penyalaan magnesium terjadi pada kecepatan potong 180 m/min menghasilkan suhu 553,235 oC dan kecepatan potong 200 m/min menghasilkan suhu 620,675 oC 4. JST dapat digunakan untuk model memprediksi penyalaan magnesium karena memiliki koefisien R2 = 0,99468 dan MSE=0,01. Penghargaan
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah membiayai penelitian
Hibah Fundamental dengan No. Kontrak 158/UN26/8/LPPM/2015 Referensi [1]
Tomasz Tański, Szymon Malara, Mariusz Król and Justyna Domagała- Dubiel
Leszek Adam Dobrzański, "Contemporary Forming Methods of the Structure and Properties of Cast Magnesium Alloys,"
in Magnesium Alloys - Design, Processing & Properties. Koarsia: InTech, 2011,
ch. 15, pp. 321-350. [2] B. Akyuz.
Machinability of Magnesium and Its Alloys. The Online Journal of Science and Technology, July 2011, Volume 1/ 3 pp. 31-38.
[3]
F.Z. Fang, L.C. Lee & X.D. Liu. Mean flank temperature measurement in high speed dry cutting of magnesium alloy. J. of Materials Processing Technology 167 (2005) 119–123 [4] K.
Tonnesen, N. Tomac dan F.O. Rasch. Machining magnesium alloys with use of oil-water emulsions. 8th Int. Colloquium, Tribology 2000 (1992). [5] Metals
Handbook Volume 2, Properties
and Selection: Nonferrous Alloys and Special-Purpose Materials: ASM International, 1990.
[6] P.S. Sreejith, .K.A. Ngoi. Dry machining: machining of the future. J. Mater. Processing Technology 101 (2000) 287-291. [7]
R. Quiza, L. Figueira & J.P. Davim,
Comparing statistical models and artificial networks on predicting the tool wear in hard machining D2 AISI steel.International Journal of Advanced Manufacturing Technology, Vol 37: p. 641–648. 2008. [8]
Mukherjee, I., & Ray, P. K. A review of
optimization techniques in metal cutting processes.Computers and Industrial Engineering, 50(1–2), p.15–34. 2006. [9] Zhao Hongjin, Zhang Yinghui & Kang Yonglin. Effect of cerium on ignition point of AZ91D magnesium alloy. China Foundry, Vol.5 No.1, pp 32-35. [10]
E. L. White & J. J. Ward. Ignition of Metals in Oxygen. DMIC Report No. 224. 1966.
[11]
M.C. Shaw, Metal Cutting Principles, Clarendon Press, USA, 1991
BobotAkhir_Input = 1.6484 -1.7657 1.5327 1.6677 1.8504 -1.7920 -1.4930 1.2319 1.0446 0.9306 -0.1915 1.8943 0.4743 2.0182 1.5168 -1.8140 -1.3064 1.2226 -1.0820 -0.6241 2.2280 0.0646 2.4732 -0.7465 2.0313 1.5765 0.9211 1.0500 1.4361 -1.3506 BobotAkhir_Lapisan1 = Lampiran BobotAkhir_Bias_Input = -3.7176 -2.6489 2.1155 -2.3488 -0.9424 0.5644 -0.7186 1.3722 0.9834 2.6246 0.8816 1.2934 -0.2276 -0.0463 -0.9240 0.0114 1.0893 1.9052 1.4553 -0.6081 -1.8333 0.7384 -1.0885 -0.3172 0.4245 1.5530 -1.3216 -0.2143 -1.0613 -1.1917 -1.0601 -0.8622 0.8379 0.7253 0.5790 -0.9271 -0.0642 -1.9707 1.4557 -1.3865 -1.6368 1.4231 1.0345 0.6855 -1.2138 0.4644 0.6738 -1.3158 -1.0106 0.4728 -1.6352 -1.7250 -1.7221 0.9411 -1.1604 -1.4424 1.0348 -0.9217 1.6200 -0.4361 BobotAkhir_Bias_Lapisan1 = -3.2586 1.4969 -0.1892 -1.5656 -3.9385 BobotAkhir_Lapisan2 = -0.3273 0.7792 0.9818 -0.6777 4.1500 BobotAkhir_Bias_Lapisan2 = -1.1765 Proceeding Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin XIV (SNTTM XIV) Banjarmasin, 7-8 Oktober 2015 Proceeding Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin XIV (SNTTM XIV) Banjarmasin, 7-8 Oktober 2015 Proceeding Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin XIV (SNTTM XIV) Banjarmasin, 7-8 Oktober 2015 Proceeding Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin XIV (SNTTM XIV) Banjarmasin, 7-8 Oktober 2015 Proceeding Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin XIV (SNTTM XIV) Banjarmasin, 7-8 Oktober 2015 Proceeding Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin XIV (SNTTM XIV) Banjarmasin, 7-8 Oktober 2015 Proceeding Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin XIV (SNTTM XIV) Banjarmasin, 7-8 Oktober 2015 Proceeding Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin XIV (SNTTM XIV) Banjarmasin, 7-8 Oktober 2015 Proceeding Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin XIV (SNTTM XIV) Banjarmasin, 7-8 Oktober 2015 Proceeding Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin XIV (SNTTM XIV) Banjarmasin, 7-8 Oktober 2015 Manufaktur 25 Manufaktur 25 Manufaktur 25 Manufaktur 25 Manufaktur 25 Manufaktur 25 Manufaktur 25 Manufaktur 25 Manufaktur 25