MEMBEBASKAN narapidana pada saat terjadi wabah seperti saat ini adalah mengacu kepada kepentingan perlindungan terhadap keselamatan nyawa manusia.
Artinya, kebijakan tersebut dapat saja diambil, akan tetapi perlu dipertimbangkan syarat-syarat formal serta rasa keadilan masyarakat.
Bila melihat apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah dalam membebaskan narapidana pada saat wabah covid 19 ini, yakni dengan membebaskan narapidana anak dan narapidana tindak pidana umum (selaian korupsi , narkotika, dan terorisme) yang telah menjalani sepertiga masa hukumannya. Pada kategori ini, apa yang dilakukan pemerintah sudah tepat.
Karakter wabah yang mengharuskan orang untuk untuk tidak berdekatan dengan orang lain, tentu bertolak belakang dengan kondisi nyata dari kebanyakan lembaga pemasyarakatan di Indonesia.
Hampir semua lembaga pemasyarakatan di Indonesia kelebihan penghuni.
Melihat data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas), pada bulan Maret 2020 tercatat hanya 4 wilayah saja yang lembaga pemasyarakatannya tidak kelebihan penghuni, yakni Yogyakarta, Maluku Utara, Papua Barat, dan Sulawesi Barat.
Selain itu mengalami kelebihan penghuni. Kondisi kelebihan penghuni ini mengakibatkan pada narapidana akan sangat rentan dengan penularan wabah. Artinya dengan membebaskan para narapidana, akan mengurangi kepadatan dan dapat mengurangi risiko penularan wabah.
Tentu tidak semua narapidana yang akan dibebaskan. Syarat telah melaksanakan 2/3 masa hukuman itu pada dasarnya hampir melaksanakan seluruh hukumannya.
Biasanya pula narapidana dapat dikurangi jumlah hukumannya dengan remisi, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012.
Artinya pengurangan hukuman bagi narapidana adalah keniscayaan. Kemudian pada anak pidana, bila mendasarkan pada system peradilan pidana anak, sesungguhnya anak yang melakukan kejahatan tidak perlu dipidana.
Di berbagai Negara lain, tidak ada lagi anak yang dijatuhkan pidana penjara. Indonesia juga telah mengubah sistemnya menjadi lembaga pembinaan khusus anak (LPKA). Akan tetapi, kondisi ini tetap mengumpulkan anak di dalam satu lokasi.
Hal ini juga sangat rentan terjadinya penularan wabah. Sebenarnya dengan adanya prinsip restorative justice, dengan memaksimalkan program tersebut, tidak perlu ada anak yang berada di dalam LPKA. Jadi tidak perlu mengumpulkan anak pelaku kejahatan dalam satu lokasi.
Pembinaan dapat dilakukan dengan pola yang lain. Jadi membebaskan anak pidana dari LPKA pada prinsipnya tidak masalah, karena jiwa anak yang masih berkembang dan sangat mungkin memiliki masa depan yang lebih baik.
Yang kemudian berkembang dari proses pembebasan narapidana di masa wabah ini adalah adanya keinginan dari pihak Kementrian Hukum dan HAM untuk membebaskan pula narapidana tindak pidana korupsi.
Tentu hal ini mengejutkan banyak pihak, dan bila dilakukan akan merusak rasa keadilan masyarakat. Ada dua pertimbangan yang harus dilihat dalam hal ini. Bila menimbang dari kondisi wabah seperti saat ini, pertanyannya adalah apakah penjara yang menjadi tempat penampungan pelaku tindak pidana korupsi saat ini kondisinya tidak memungkinkan untuk physical distancing?
Hingga Maret 2020, daya tampung pada dua lembaga pemasyarakatan tempat narapidana korupsi, yakni Sukamiskn dan Gunung Sindur, keduanya masih berkisar mencapai 80% daya tampung. Artinya bila melihat daya tampung, kondisinya belum dapat dikatakan darurat. Pertimbangan kedua, dilihat dari rasa keadilan masyarakat.
Narapidana korupsi, didalam PP 99 tahun 2012 saja mempunyai kriteria yang banyak untuk mendapatkan remisi, karena tindak pidana korupsi tidak hanya merusak sendi-sendi pembangunan negara, melainkan juga merusak sensitifitas kepada masyarakat yang masih banyak berada di bawah sejahtera.
Apalagi dengan kondisi bahwa tempat narapidana korupsi tidak rentan terhadap penularan wabah, maka membebaskan narapidana korupsi untuk mengantisipasi wabah tidaklah relevan. Oleh karenanya tidak perlu dilakukan oleh Kementrian Hukum dan HAM. []
(Penulis adalah dosen hukum pidana Fakultas Hukum Unila)