BERITA agak kontroversial minggu ini ialah desas-desus pemerintah pusat yang akan mem-PHK (pemutusan hubungan kerja) satu juta pegawai negeri sipil (PNS). Maklumat yang ‘dipertanyakan’ ini menyebar luas lewat media sosial dan media konvensional. Beragam reaksi tentunya bermunculan sebagai respons terhadap ide Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-Rebiro) itu. Setidaknya ada tiga kelompok yang merespons hal itu. Kelompok pertama ialah kelompok yang setuju dengan usulan pemerintah untuk mengevaluasi kinerja PNS selama ini. Alasan sederhana dan klasik, PNS ‘terkenal’ berkinerja lemah dan mengakibatkan pemborosan anggaran negara, apalagi Pemerintahan Jokowi-JK sedang giat-giatnya melakukan penghematan anggaran untuk dialihkan pada sektor produktif lain. Kelompok kedua ialah kelompok yang menentang keras rencana tersebut, baik bahasa mem-PHK, merasionalisasi, maupun evaluasi yang terdengar ‘mencemaskan’ di telinga mereka. Alasan kelompok kedua ialah kewajiban negara menciptakan lapangan kerja dan menyejahterakan rakyat, apa pun cara yang harus ditempuh. Kelompok ketiga ialah kelompok yang mengambil jalan tengah dengan tidak setuju istilah evaluasi atau PHK, tetapi PNS harus diarahkan lebih produktif. Beberapa pertanyaan muncul dari ide Kemenpan-Rebiro tersebut. Bagaimana merespons hal ini? Apa yang harus dilakukan pemerintah? Untuk menjawab hal tersebut, kami memulainya dengan pandangan bahwa menempatkan inefisiensi kinerja, lamban ,dan tidak kreatif-nya para birokrat Indonesia hanya pada institusi PNS itu tidaklah sepenuhnya adil. Sebagai sebuah sistem, ketidakberdayaan, atau boleh kita katakan kelemahan kinerja PNS, merupakan titik kulminasi dari kelemahan sistem politik secara menyeluruh. Birokrasi tidak bisa dilepaskan dari ‘aliran’ politik dan kontestasi elite politik yang terjadi hari ini. Walaupun text book mengajarkan birokrasi mesti jauh dari pengaruh politik, kenyataan memperlihatkan sebaliknya, terutama di era pilkada.
Apa yang dilakukan
Gratton dkk, misalnya, dalam artikel mereka yang berjudul From Weber to Kafka: Political Activism and the Emergence of an Inefficient Bureaucracy’ pada 2015 menjelaskan, dalam kasus Italia, misalnya, ada korelasi antara inefisiensi birokrasi dan kinerja politisi di parlemen. Politisi yang tidak kompeten dalam menghasilkan aturan bernegara juga akan berdampak pada kinerja birokrasi dan ini sebuah wujud sistem politik bahwasanya birokrasi tidak bisa dilepaskan dari sistem politik secara keseluruhan. Menjadi relevan jika target evaluasi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja birokrat. Akan tetapi, menjadi sangat naif jika evaluasi atau rasionalisasi ini pada masa yang akan datang memangkas jumlah birokrasi sejumlah satu juta PNS atau setara dengan hampir 30% total PNS di Indonesia. Kemenpan-Rebiro sudah menjelaskan evaluasi ataupun rasionalisasi akan didahului dengan melakukan kategorisasi PNS berdasarkan tingkat kompetensi dan prestasi. Proses ‘eksekusi’ terhadap PNS akan dilakukan mulai tahun depan. Berkali-kali juga pemerintah, dalam hal ini Kemenpan-Rebiro, mengungkapkan rasionalisasi ini merujuk pada tiga kata kunci pertumbuhan negatif PNS, pensiun alamiah 2019, dan efisiensi anggaran.
Alasan yang terakhir, misalnya, berdasarkan evaluasi pemerintah pusat, ada daerah yang 80% APBD-nya hanya untuk membayar belanja pegawai daripada anggaran pembangunan. Porsi terbesar anggaran daerah memang mayoritas lebih ke belanja pegawai dari pada anggaran pembangunan. Gejala sebenarnya muncul di era reformasi yang secara teoritis sesungguhnya anomali ‘teori birokrasi’ David Beetham. Beetham, misalnya, dalam buku klasik soal birokrasi, mengungkapkan ada hubungan antara kultur demokrasi dan profesionalitas birokrasi dalam masyarakat industri. Demokrasi memang ideal tumbuh pada masyarakat industri yang secara tidak langsung tipologi masyarakat industri akan mendorong terbentuknya birokrasi yang profesional karena ada logika kompetisi di dalamnya. Ide pemerintah melakukan rasionalisasi bagai dua sisi pisau, dapat sangat bermanfaat bagi birokrasi. Akan tetapi, pada sisi lain, ini mempunyai dampak yang berisiko besar. Contoh, melakukan rasionalisasi atau evaluasi kemudian menjustifikasi bahwa seorang PNS tidak kompeten dan layak untuk di ‘PHK’ ialah konsep yang sumir dan tinggi subjektivitas.
Pemerintah pusat mungkin juga lupa mengalkulasi iklim birokrasi di daerah akibat pilkada yang menghasilkan loyalitas PNS daerah berdasarkan istilah ABS, alias ‘asal bapak senang’. Yang tejadi di daerah hari ini ialah birokrasi bekerja bukan untuk melayani rakyat, melainkan lebih pada melayani kepala daerah. Nah, jika evaluasi ini dilakukan, kami dapat membayangkan para kepala daerah akan berupaya ‘sehebat’ mungkin mengamankan para PNS ‘kesayangan’ mereka. Inilah yang saya takutkan. Evaluasi akan berbuntut tingginya subjektivitas kelak walaupun menurut informasi, pada 2019 akan ada sekitar 500 ribu PNS yang pensiun. Kedua, Media Indonesia 4 Juni 2016 memberitakan kelompok yang terkena ‘evaluasi’ akan diminta untuk pensiun dini. Pertanyaan selanjutnya, bagaimanakah konsep ‘diminta pensiun dini’ dan apakah sudah ada instrumen hukum untuk ‘memaksa’ para PNS pensiun dini tersebut? Pada akhirnya saya melihat program rasionalisasi, evaluasi, atau bahasa ekstremnya ‘PHK’ masal PNS ini tidak akan berjalan semestinya karena beberapa faktor tersebut di atas. Kami menyarankan pemerintah, jika masalah pokoknya kompetensi dan prestasi, solusi yang paling bijak ialah edukasi dan upgrading pengetahuan terhadap para PNS. Zero growth policy PNS juga harus tetap dilaksanakan sampai angka PNS ideal. Jika masalahnya efisiensi anggaran, yang paling pokok menurut saya ialah bagaimana pemerintah menciptakan sistem keuangan negara yang akuntabel dan dapat menutup kemungkinan terjadi penyimpangan anggaran, bukan efisiensi dengan memperkecil jumlah pos anggaran, melainkan anggaran yang harus dibuat efisien, akuntabel dan tidak bocor!