FEBRUARI 2016, Partai Golkar akan menyelenggarakan Musyawarah Nasional untuk menentukan kepemimpinan pasca-Aburizal Bakrie yang secara tegas tidak berminat maju kembali sebagai ketua umum. Ini sebuah momen menarik bagi Partai Golkar, misalkan menarik menyimak kontestasi Partai Golkar yang selalu berpolemik dan mengalami konflik internal yang panjang setelah Pemilihan Presiden 2014 pada beberapa pilkada di Tanah Air.
Data menyimpulkan bahwa secara tidak langsung konflik internal Partai Golkar sangat berpengaruh pada tingkat kemenangan Partai Golkar di ajang pilkada. Misalnya, pada ajang Pilkada Desember 2015, dari 116 pasangan calon Partai Golkar, partai ini hanya memenangi tidak sampai 50%. Hal ini dengan tegas disampaikan melalui media oleh Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar, Akbar Tandjung, pada Desember 2015.
Konflik yang berkepanjangan di tubuh Partai Golkar secara tidak langsung juga memperuncing munculnya banyak faksi atau kubu di tubuh partai ini. Secara kasatmata, setidaknya ada tiga kubu yang dominan di partai tersebut, yakni faksi saudagar Aburizal Bakrie (sang ketua umum), faksi ideologis Akbar Tandjung, dan faksi ormas di bawah komando Agung Laksono.
Konflik internal kali ini sudah out of control. Tidak seperti biasanya setelah kekalahan Jusuf Kalla-Wiranto pada Pemilu 2009, Partai Golkar di bawah Aburizal Bakrie kala itu cepat berkonsolidasi dan menjadi bagian dari Pemerintahan SBY di berbagai momentum politik.
Konflik internal kali ini ialah konflik yang terparah dan terdalam melibatkan semua faksi yang ada dalam tubuh Partai Golkar. Sejujurnya, setelah kemenangan Aburizal Bakrie pada Munas Pekanbaru 2009, sebenarnya ada secercah harapan bahwa partai ini akan kembali membesar, setidaknya memenangi Pemilu 2014.
Ketika Partai Golkar di bawah besutan Aburizal mengalami kekalahan beruntun dalam berbagai perhelatan pilkada di level provinsi dan seolah terus berlanjut, analis memperkirakan kekalahan beruntun itu diduga sebagai tanda kegagalan Partai Golkar dalam memasarkan calon-calon Gubernur.
Kekalahan juga tidak hanya di Pilkada Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, dalam Pemilihan Legislatif 2009 partai ini hanya menempati urutan kedua dengan memperoleh 14,45%, jika dibandingkan dengan Pemilihan Legislatif 2004 yang memperoleh 21,58.Angka itu kemudian hanya naik 0,30% di Pemilu 2014 menjadi 14,75% (dan itu tidak begitu signifikan).
Fenomena di atas diperparah dengan jatuhnya suara pasangan yang diusung Golkar dalam Pilpres 2009 dan kembali juga menderita kekalahan pada Pilpres 2014.
Solusi
Politikus senior Partai Golkar, Akbar Tandjung, dalam bukunya, The Golkar Way membeberkan politik saudagar dan modal pedagang yang telah sedikit mengganggu stabilitas logika fairness dalam tubuh partai ini.
Dalam kata pengantar buku The Golkar Way, Akbar Tandjung menyoroti bahwa pola kepemimpinan saudagar yang sangatlah berorientasi jangka pendek, mengedepankan spekulasi bisnis, serta cenderung tidak menghargai proses, tetapi hasil pola seperti ini akan mengabaikan penguatan kelembagaan.
Apakah hal di atas menjadi poin utama yang menjadi penyebab banyaknya kekalahan Partai Golkar di arena pilkada atau ini murni sebagai kegagalan Aburizal Bakrie mendorong konsolidasi internal partai?
Pada bagian lain, terkait dengan konflik, penunjukan Jusuf Kalla sebagai ketua tim transisi juga merupakan solusi yang tepat. Munas rekonsiliasi atau munas bersama dua Kubu Ancol dan Bali ialah solusi yang paling tepat untuk atasi kisruh Partai Golkar. Konflik Partai Golkar ini sudah mengarah pada konflik antarkubu dan sangat politicking situasinya, dalam situasi konflik seperti ini, secara teoritis yang paling tepat dengan menciptakan alternatif pilihan.
Alternatif pilihan itu, adalah menyelenggarakan munas dipercepat dengan melibatkan semua pihak yang berkonflik serta dimediasi person yang tepercaya dalam kelompok yang berkonflik tersebut.
Tokoh-tokoh ideologis Golkar tersebut bisa jadi penyejuk beberapa kubu yang ada dalam tubuh Partai Golkar. Selain munas rekonsiliasi, hal lain yang patut dipertimbangkan oleh Partai Golkar dan sebagai cara mendorong kinerja partai ialah mencari tokoh-tokoh alternatif sebagai Calon Ketua Umum Partai Golkar ke depan.
Tokoh-tokoh muda Golkar dari beberapa kelompok dan profesi seharusnya dipersilakan saja dimunculkan untuk berkompetisi merebut kursi Golkar 1, dan ini menyehatkan bagi perkembangan Partai Golkar ke depan.
Apalagi, 2019 ialah era kontestasi anak-anak muda dan Partai Golkar harus antisipasi perubahan skema politik tersebut jika tidak mau terhempas oleh spektrum politik baru Indonesia yang kita duga akan terjadi pada 2019.