WACANA memperketat artis masuk ke panggung politik menjadi berita yang menghangat dalam beberapa hari terakhir. Pemerintah, misalnya, melalui Kementerian Dalam Negeri setidaknya mengajukan 13 poin penting perubahan dalam RUU Pemilihan Umum (RUU Penyelenggaraan Pemilu). Seperti biasa menjelang pemilihan umum, regulasi yang mengaturkan juga ‘seolah’ harus berdaptasi dengan kondisi harian dan kontestasi politik saat ini. Sistem proporsional terbuka dianggap sebagai sebuah sistem yang kemudian melahirkan liberalisasi politik yang terus terang saja berbasis kapital, baik uang maupun popularitas. Pada poin inilah artis atau selebritas mempunyai peluang untuk terpilih. Sementara itu, dengan model sistem seperti ini pula partai politik seolah menjadi sangat sulit untuk melakukan kontrol terhadap caleg-caleg yang terpilih. Nomor urut yang ditetapkan oleh partai politik seolah tidak bermakna bagi caleg. Padahal, sisi penomoran caleg oleh parpol tersebut menjadi sangat ‘sakral’ karena pada penomoran itulah parpol dapat menegaskan dominasinya terhadap caleg. Di lain sisi, sisi proporsional tertutup juga dianggap tidak ideal oleh sebab sistem ini menghasilkan seolah partai politik tidak bisa berdamai pada pilihan rakyat. Sebuah dilema memang! Mengusulkan sistem yang mixed atau campuran antara proporsional terbuka dan tertutup tampaknya akan titik temu dalam RUU ini. Kita juga selanjutnya akan menunggu yang dimaksud dengan mixed system antara proporsional terbuka dan tertutup itu seperti apakah?
Aturan atau kegagalan parpol
Argumen Rodrik (2016) dalam jurnal yang bertajuk “Is Liberal Democracy Feasible in Developing Countries Studies in Comparative International Development” menarik untuk dicermati dan dipakai sebagai alat analisis teorotikal terhadap kondisi kekinian demokrasi di Indonesia. Rodrik misalkan mewant-wanti ada dua alasan mengapa demokrasi liberal seperti apa yang sedang terjadi di Indonesia hari ini mengalami beragam persoalan dan jauh dari kata ideal. Tidak adanya tradisi liberal dalam konteks mobilisasi pemilu dan kondisi struktural negara berkembang cenderung lebih merujuk pada identitas (patron, etnik, dll) daripada politik aliran. Mencermati dan melihat perkembangan yang terjadi saat ini di negara kita, perkembangan demokrasi di tanah air seolah menuju liberalisasi politik yang tanpa pola yang teratur. Partai politik saat ini tampak mulai goyah dalam proses pengaderan internal sehingga ada indikasi merekrut calon legislatif sebagai contoh yang tidak mempunyai latar belakang ideologis yang jelas, tetapi popular di masyarakat. Sistem politik secara umum juga tidak berjalan dengan baik, input, proses, dan output dari sistem politik yang seharusnya berjalan sesuai koridor untuk menjadi alat agregasi dan artikulasi kepentingan politik tidak bekerja dengan sempurna.
Persoalan utama dalam konteks kepartaian, sistem politik dan penegakan hukum ini menjadi pekerjaan rumah yang sebenarnya diharapkan bisa dituntaskan oleh pemerintahan Jokowi-JK. Akan tetapi, saya melihat perdebatan publik yang terjadi pasca- dan akibat Pemilu 2014 tidak juga tuntas, terutama terjadi sekali di akar rumput. Jika kita mencermati media sosial misalkan, berita-berita hoax dan tidak benar menjadi menu utama harian masyakarat kita. Sejujurnya secara kulminatif juga hal ini berdampak buruk pada kinerja sistem politik secara umum, terutama sisi kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah, warganegara yang kritis memang diharapkan dalam sebuah sistem pemerintahan demokratis. Akan tetapi, kritis yang berlandaskan pada pengetahun. Kembali ke soal RUU Penyelenggaraan Pemilu, kami cenderung melihat masalah ini dari spektrum yang lebih luas daripada hanya melihat dari sisi perdebatan soal menghambat atau tidaknya sebagian kelompok (artis) untuk ‘berkantor’ di Senayan. Kami juga sepakat pada ide sebagian pengamat bahwa RUU Penyelenggaran Pemilu yang diusulkan jangan sampai bersifat diskriminatif terhadap satu kelompok atau golongan saja. Dalam pandangan kami, sistem politik di negara kita secara umum perlu untuk dievaluasi, liberalisasi yang berasas pada logika kapital baik yang sifatnya uang dan popularitas an sich memang menjadi masalah yang krusial. Sebenanrya dampak dari liberalisasi politik yang tidak ditopang dengan tingkat pendidikan dan kesejahteraan yang memadai termasuk juga kegagalan fungsi dan peran partai politik. Usulan satu tahun rekrutmen oleh partai sebelum dicalegkan oleh partai dimaknai dapat meminimalisasi kutu loncat dan memperbaiki iklim kompetisi dan kaderisasi partai politik menjadi sebuah tanda tanya besar.
Kami cenderung memberikan masukan bahwa membuat sebuah aturan yang akan meminimalisasi kutu loncat dan pembatasan merekrut selebritas dengan melalui RUU Penyelenggaraan Pemilu seperti ibarat seperti obat analgesik atau pereda sakit sesaat. Yang menjadi masalah serius sebenarnya ialah partai politik harus dikembalikan ke khitahnya sebagai sarana sosialisasi dan pendidikan politik pada rakyat. Pada bagian lain usulan Ketua DPR soal soal sekolah parlemen juga merupakan cermin yang nyata bagaimana partai politik selain gagal dalam proses kaderisasi internal pun termasuk gagal dalam memberikan pendidikan politik internal dan eksternal. Pada akhirnya, partai politik harus didorong mempunyai platform visi dan ideologi yang jelas. Parpol harus didorong mempunyai platform pengaderan yang baik. Yang paling penting parpol harus didorong untuk mengaplikasikan majamemen partai modern yang meminimalisasi kontestasi hanya kekuasaan ketimbang kontestasi ide dan program. Semoga.