Banjir dan Pemindahan Pusat Pemerintahan

Penulis: ARIZKA WARGANEGARA Pada: Kamis, 12 Feb 2015, 00:00 WIB Opini
Banjir dan Pemindahan Pusat Pemerintahan

ANTARA/FANNY OCTAVIANUS

BANJIR yang melanda sejumlah daerah di Indonesia, termasuk di ibu kota negara, menjadi sebuah fenomena yang di antara atau in between lumrah dialami beberapa kota besar dunia. Banjir bahkan menjadi tema penting dalam studi politik lingkungan di era kekinian. Bahkan, sosiolog sekaliber Lord Anthony Giddens, mantan Direktur London School of Economic, menulis buku khusus yang membahas soal fenomena perubahan iklim yang berjudul The Politics of Climate Change.

Banjir sebagai sebuah fenomena yang sebenarnya multidimensi dan melintas batas kepentingan. Sebagai fenomena alam, banjir juga punya dimensi sosial bahkan dimensi politik. Kita tidak bisa bayangkan bahwa persoalan banjir hanyalah persoalan yang harus diletakkan sebagai tanggung jawab politisi saja. Banjir adalah fenomena yang harus menjadi concern bersama publik, kontribusi terhadap peru sakan lingkungan bukan hanya dilakukan oleh para pebisnis yang mengekspansi lingkungan hidup, melainkan juga rakyat biasa yang membuang sampah sembarangan.

Terkait dengan hal di atas, Jakarta sebagai sebuah ibu kota sudah dalam posisi gawat darurat. Sebagai sebuah ibu kota dari negara yang begitu besar, posisi Jakarta sebagai pusat pemerintahan harus ditinjau ulang. Belum lagi persoalan getrifikasi seperti perumahan juga menjadi hal yang semakin hari semakin tidak rasional dalam konteks Jakarta.

Wacana pemindahan Ibu Kota sudah didengungkan oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa tahun yang lalu. Beberapa wilayah masuk biding dan digadanggadang menjadi lokasi ibu kota seperti Banten, Sulawesi Barat, Lampung, Kalimantang Tengah (Palangkaraya), dan Papua. Bahkan, pada saat itu staf khusus presiden dan Bappenas sempat melakukan kajian yang konon kabarnya di akhir masa pemerintahan SBY akan diumumkan lokasi baru ibu kota, walaupun wacana tersebut sampai sekarang seolah tidak menarik lagi. Padahal di satu sisi, salah satu penggagas Palangkaraya menjadi ibu kota, saat ini di era Presiden Jokowi telah menjabat sebagai Kepala Bappenas, sebuah institusi strategis yang mempunyai otoritas untuk mewujudkan hal tersebut.

Lampung?
Ide diatas sebenarnya ingin membatasi bahwa dalam konteks tulisan ini saya tidak `mendorong' bahwa Lampung menjadi ibu kota. Usulan kami Tim 5 yang terdiri atas beberapa akademisi Universitas Lampung (Unila) dan Universitas Bandar Lampung (UBL) pada empat tahun lalu ialah mengusulkan Lampung, dengan beragam argumen akademik, sebagai pusat pemerintahan Republik Indonesia menggantikan Jakarta.

Tim 5 Unila dan UBL, misalnya, menyimpulkan secara geologis Lampung kawasan timur akan sangat layak ditetapkan sebagai pusat pemerintahan. Lampung kawasan timur adalah wilayah yang aman dari ancaman gempa. Peneliti Unila Bagus Sapto Mulyono menjelaskan bahwa dari sisi litologi, batuan wilayah Lampung didominasi ofiolit yang merupakan batuan dengan berat masa tertinggi sekaligus tahan terhadap guncangan gempa. Wilayah Lampung kawasan timur juga secara kewilayahan mempunyai akses langsung ke Laut Jawa yang berpotensi sebagai jalur transportasi.

Saya melihat pemindahan kota pemerintahan ialah sesuatu yang paling mungkin dan efisien bisa dilaksanakan.Mengusulkan Lampung sebagai kota pusat pemerintahan menjadi hal yang saya pikir masuk akal, ditambah lagi jarak antara Jakarta dan Lampung tidak cukup jauh sehingga konektivitas antara pusat pemerintahan dan ibu kota kelak tidak akan terganggu.

Justru hal ini akan mengalami beragam kendala jika pusat pemerintahan diletakkan di kawasan tengah atau timur Indonesia. Misalnya jika ide Andrinof Chaniago memindahkan ibu kota ke Palangkaraya, akan ada dua hal yang patut dipertimbangkan bila kita membandingkan dengan Lampung.

Pertama soal jarak yang relatif lebih jauh dari Jakarta sebagai centrum atau pusat ekonomi. Kedua, jumlah penduduk di dua wilayah timur dan tengah tersebut hanya satu pertiga dari seluruh penduduk Indonesia.Sementara itu, dua pertiga dari penduduk Indonesia berada di Indonesia bagian barat yaitu Pulau Jawa dan Sumatra. Dari sisi degree of interest dan teknis meletakkan pusat pemerintahan tetap di wilayah barat NKRI ialah sebuah hal yang sangat diterima (logically accepted). Jika pusat pemerintahan di Lampung, kontrol pemerintah pusat atas mayoritas wilayah akan berjalan secara efektif dan efisien.

Pada bagian lain, seperti yang saya katakan pada berbagai media massa medio 2010, jika Lampung ditetapkan menjadi pusat pemerintahan, hal tersebut akan berdampak positif bagi perkembangan dan kemajuan di Pulau Sumatra.
Lampung merupakan pintu gerbang Sumatra dan hal tersebut akan membuka akses pengembangan potensi daerah lain di Sumatra.

Ditambah lagi bagaimana merespons 'karpet merah' Masyarakat Ekonomi ASEAN, menempatkan pusat pemerintahan di Lampung akan sangat memudahkan konektivitas komunitas ASEAN berjalan dengan baik dan secara geopolitik akan menguntungkan jika pusat pemerintahan di Pulau Sumatra. Hal tersebut akan sangat mendukung secara simbolik politik peran Indonesia dalam skema ASEAN Community 2020 dan peran sentral Pulau Sumatra. Secara teknis konektivitas ASEAN ialah menghubungkan Selat Malaka dan Selat Sunda.

Sebuah keharusan

Dalam dimensi geografi politik, Lampung memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan daerah lain. Saya menilai Lampung adalah salah satu wilayah di Indonesia yang masyarakatnya sudah kosmopolitan. Program kolonisasi 1905 dan diteruskan dengan transmigrasi menjadi pencetus awal perkembangan heteregonitas etnik dan budaya di Lampung. Heterogenitas tersebut sudah dibangun sejak zaman penjajahan Belanda yang menetapkan Lampung sebagai daerah transmigrasi sehingga berbagai etnik dari seluruh Indonesia berdatangan ke Lampung.

Jika menggunakan teori Giddens mengenai integrasi sosial, saya menyimpulkan pusat pemerintahan mestilah sebuah daerah yang kosmopolitan yang masyarakatnya sudah terbiasa dengan logika melting port dan Lampung mempunyai pengalaman itu. Survei BPS (Badan Pusat Statistik) 2010 di Lampung, misalnya, menyimpulkan beragam etnik hidup di Lampung. Bahkan meskipun kini Lampung menjadi etnik minoritas di daerahnya sendiri, hal tersebut tidak sedikit pun mengganggu proses integrasi etnik di Lampung. Konflik yang terjadi umumnya disebabkan kontestasi sesaat dan tidak mengakar.

Pada bagian akhir, pemindahan pusat pemerintahan ialah sebuah keharusan dengan melihat fenomena kekinian Jakarta, dan pemerintahan Jokowi-JK saya pikir jangan hanya menjadikan hal ini hanya sebagai sebuah wacana di ruang publik. Bukankah Jokowi-JK juga ingin dikenang rakyat sebagai pemimpin yang bisa menyelesaikan masalah dan problem solver?
Arizka Warganegara Dosen Universitas Lampung,Mahasiswa S-3 Political Geography,University of Leeds,Inggris Dewan Pakar Lampung Post

Berita Terkini

Read More

Poling

Pada Sabtu (13/4) digelar debat kelima Pilpres 2019. Debat kali ini diikuti oleh Calon Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo dan Ma'ruf Amin serta Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno. Debat ini akan mengangkat tema ekonomi, kesejahteraan sosial, keuangan dan investasi serta perdagangan, dan industri. Menurut Anda, siapa yang akan unggul dalam debat kali ini?






Berita Populer

Read More